TereLiye menikah dengan Ny. Riski Amalia dan di karuiai satu putra bernama Abdullah Pasai. B. Membandingkan dengan novel yang sejenis Novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu berbeda dengan novel tere liye yanngsebelum nya yang berjudul Daun yang jatuh tak pernah membenci angin yang lebih condong mengisahkan arti perjuangan,cinta,keluarga,penyesalan, serta konflik yang tidak terlalu berat.
Type PDF Date November 2019 Size Author Krisna Pamungkas This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA DOWNLOAD as PDF DOWNLOAD PDF This is a non-profit website to share the knowledge. To maintain this website, we need your help. A small donation will help us alot.
Inilahnovel rembulan tenggelam di wajahmu pdf Cara Tere Liye membawakan novel ini akan membuat kita para pembaca merasakan. If you have any other trouble downloading novel indonesia gratis pdf post it in comments and our support team or a community member will help you. Reviewbuku reviewnovel ensiklofadiaRembulan Tenggelam Di Wajahmu adalah
Type PDF Date June 2020 Size Author Diyah Rochmawati This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA DOWNLOAD as PDF DOWNLOAD as DOCX DOWNLOAD as PPTX This is a non-profit website to share the knowledge. To maintain this website, we need your help. A small donation will help us alot. RembulanTenggelam di Wajahmu yang bertujuan untuk memberikan motivasi, pesan, dan cara memanfaatkan waktu. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yang bertujuan untuk mendeskripsikan hasil penelitian dari sampel yang berupa kutipan. Tere Liye mengungkapkan berbagai rasa kemanusiaan yang tinggi mulai dari pertanggungjawaban, penyesalan
0% found this document useful 0 votes3K views8 pagesDescriptionresensi © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes3K views8 pagesResensi Novel Rembulan Tenggelam Di WajahmuJump to Page You are on page 1of 8 You're Reading a Free Preview Pages 5 to 7 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
BukuRembulan Tenggelam di Wajahmu dikarang oleh dan diterbitkan pada 19-Mar-2010 dengan harga Malaysia Barat RM17.50/Malaysia Timur RM19.50(2010). Ia diterbitkan oleh PTS Publications & Distributors Sdn Bhd dalam bahasa Melayu dengan nombor ISBN13 -6.
Tutup mata kita. Tutup pikiran kita dari carut- marut kehidupan. Mari berpikir takjim sejenak. Bayangkan saat ini ada satu malaikat bersayap indah datang kepada kita, lantas lembut berkata Aku memberikan kau kesempatan hebat. Lima kesempatan untuk bertanya tentang rahasia kehidupan, dan aku akan menjawabnya langsung sekarang. Lima Pertanyaan. Lima jawaban. Apakah pertanyaan pertamamu? Maka apakah kita akan bertanya Apakah cinta itu? Apakah hidup ini adil? Apakah kaya adalah segalanya? Apakah kita memilki pilihan dalam hidup? Apakah makna kehilangan? Ray tokoh utama dalam kisah ini, ternyata memiliki kecamuk pertanyaan sendiri. Lima pertanyaan sebelum akhirnya dia mengerti makna hidup dan kehidupannya. Siapkan energi Anda untuk memasuki dunia Fantasi Tere-Liye tentang perjalanan hidup. Di sini hanya ada satu rumus semua urusan adalah sederhana. Maka mulailah membaca dengan menghela nafas lega Untuk membaca novel yang berjudul "Rembulan Tenggelam Di Wajahmu " karya Tere Liye, silahkan download dalam bentuk ebook format file pdf melalui link di bawah ini. DOWNLOAD Baca Novel Rembulan Tenggelam Di Wajahmu karya Tere Liye Anda juga bisa membaca secara online maupun offline ebook yang berjudul Rembulan Tenggelam Di Wajahmu yang ditulis oleh Tere Liye. Jika ingin membaca, silahkan klik tombol download di atas. Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Novel Rembulan Tenggelam Di Wajahmu ini sangat seru untuk dibaca. Untuk ebook menarik lainnya, silahkan kunjungi di sini. Tere Liye Novel
RembulanTenggelam di Wajahmu yang dirilis pada 12 Desember 2019 ini dibintangi oleh Arifin Putra, Bio One, Anya Geraldine, dan Donny Alamsyah. Sayangnya, film ini belum memiliki link resmi yang bisa digunakan untuk menontonnya. Sambil menunggu, kamu bisa menyaksikan terlebih dahulu trainlernya.
151 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m kurang titik koma. Sudah ribuan kali Ray membaca potongan koran tua itu. Sudah hafal di luar kepala. Bahkan Ray bisa mengingat guratgurat bekas lipatannya dengan detail. Inilah sepotong masa lalu yang dimilikinya.... Ray menghela nafas. Inilah juga sepotong kertas yang mengganggu tidurnya selama setahun terakhir sejak meninggalkan Rumah Singgah. Malam-malam bertanya. Menggurat langit-langit kamar sempit dengan berlarik keluh. Pertanyaan tentang nasib Natan yang tidak bisa bernyanyi lagi. Pertanyaan tentang kenapa langit tega sekali mengambil kebahagiaan seseorang padahal semuanya tinggal di depan mata. Hidup ini tidak adil! Kalimat itu menderanya. Kenapa dia harus dilahirkan tanpa ayah-ibu. Kenapa dia hanya memiliki sepotong koran untuk menjelaskan masa lalunya. Kebakaran yang disengaja. Sama seperti Natan, kenapa Tuhan mengirimkan orang-orang jahat untuk mengambil kebahagiaannya. Ray tidak mengerti apa maksud semua berita dalam potongan koran butut ini, tapi dia jelas-jelas tak pernah meminta untuk menjalani hidup macam ini, sendiri! Melelahkan menyimak penat hati Ray malam itu. Kilat menyambar. Guntur menggelegar. Sepertinya akan turun hujan lebat, badai mungkin. Ray menggigit bibir. Memasukkan kembali potongan koran itu ke dalam kantong. Memasukkannya ke dalam saku. Sejak setahun terakhir dia resah dengan pertanyaan itu. Selama itu pula, pelan tapi pasti dia mulai berubah. Tanpa disadarinya, Ray mulai sibuk menyalahkan banyak orang atas takdir buruknya. Dan 152 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m apalagi yang paling banyak disalahkan, selain orang-orang yang sengaja membakar rumahnya dulu seperti disebutkan dalam potongan koran. Kalau Tuhan benar-benar penyayang kenapa Dia harus menciptakan orang-orang jahat. Orang-orang yang mengambil kebahagiaan orang lain. Natan kehilangan mimpinya. Dia kehilangan orang tuanya. Bukankah sering terlihat orang-orang jahat itulah yang justru dimudahkan dalam segala urusan. Dilapangkan jalannya. Sedangkan orang-orang baik, langit berkali-kali tega merenggut secuil janji kebahagiaan di depan mata. Apa hidup ini adil? Ray menggigit bibir. Menahan terpaan angin. Kalau demikian, maka lebih baik jadi orang jahat! Dia bosan mengamen. Bosan dengan tatapan menghinakan dari orang-orang. Mulut-mulut yang terdekap memangnya dia tak mandi, mata-mata yang curiga, dan prasangkaprasangka lainnya. Ray bosan dengan sepetak kamar sempitnya. Pengap kalau hari biasa. Tempias kalau hujan. Ray bosan dengan gitar tuanya, ini kali kedua senarnya putus sebulan terakhir. Kehidupan baik-baik ini melelahkan. Lebih mengasyikkan jadi anak jalanan seperti dulu. Lapar? Tinggal memaksa. Maling. Pergi ke tempat judi. Kenapa tidak? Ray menyeringai, bukankah terakhir kali berjudi dia menang belasan juta? Sebelum akhirnya tiga pisau belati membusai perutnya? Bulir air kecil-kecil mulai meluncur. Setidaknya kehidupan seperti itu menyenangkan. Menjanjikan... Disusul bulir air yang lebih besar. Hujan turun!153 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m Ray mendongakkan kepala. Mukanya dibasuh puluhan tetes air. Bajunya mulai kuyup. Rambut gondrongnya basah. Kilat menyambar, disusul dentum geledek. Angin bertiup mengencang. Mungkin jadi orang jahat lebih menyenangkan... Hujan menderas. Membadai malah. Mungkin hujan deras seperti ini jauh lebih menyenangkan dibandingkan malam dengan rembulannya.... Ray menyibak rambut yang menutupi mata. Berdiam diri setengah jam kemudian. Hingga tubuhnya terasa dingin. Menggigil. Memutuskan turun. Tower air itu memiliki anak tangga di sisinya. Tetapi setiap kali Ray kesana, dia tak pernah menggunakan tangga tersebut. Ray naik menggunakan tiang-tiangnya, lincah seperti tupai. Dan turun dengan meluncur. Kedua kaki dan tangannya menjepit tepi-tepi tiang besi, lantas sekejap, tubuhnya anggun meluncur. Satu detik, sigap melompat ke pondasi tower. Mengibaskan rambutnya yang basah. Enak saja Ray melakukannya. Meluncur. Seperti anak kecil main perosotan. Padahal tinggi tower air itu sekurangnya sepuluh meter. Beranjak pulang ke kamar petak pengap- “HEI! BAGAIMANA KAU MELAKUKANNYA?” LoveReads154 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m Bab 12 Berlian Seribu Karat RAY menoleh. Seseorang berseru dari teras rumah dekat tower air. Rumah paling besar yang ada di perkampungan bantaran kali. Ray mengusap dahi. Hujan turun semakin deras, rambutnya yang basah semakin sering mengganggu sudut-sudut mata. Bukankah rumah ini setahun terakhir kosong? Berarti sudah ada pengontrak yang baru. Rumah dekat tower itu terlalu besar dan terlalu mewah berada di lingkungan bantaran kali yang bau. Pemilik lamanya enggan menghuninya, memutuskan pindah dua tahun silam, dan memasang plang bertuliskan “Dikontrakkan Rumah 11 Kamar!” Orang yang meneriaki Ray dari teras rumah berdiri. Menyambar payung. Keluar dari halaman. Mendekat. Ray hanya memandang. Urung melangkahkan kaki kembali ke kamar petak pengapnya yang berjarak dua puluh meter dari tower air. Menunggu. “Bagaimana kau melakukannya?” Orang itu setengah berteriak. Jarak mereka hanya satu langkah sekarang, tapi hujan deras membuat percakapan terpaksa dilakukan berteriak. Ray memasang wajah tidak mengerti. Bagaimana apa? “Bagaimana kau meluncur dari tower setinggi sepuluh meter begitu mudah? Bukan main, aku belum pernah melihat yang seperti ini-” Orang itu tertawa. Ray menolehkan kepala ke tower di belakangnya. Mengangkat bahu. Biasa saja. Selama setahun dia terbiasa R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m “Kau seperti pemain akrobatik, ergh siapa.... Plee, namaku Plee!'' Orang itu menjulurkan tangan. Mengajak berkenalan. Ray mengusap wajahnya, menyibak rambut, menyebut nama. Ikut mengulurkan tangan. Orang itu tersenyum. Ray menelan ludah, meski tersenyum, wajah orang di hadapannya tidak terlihat terlalu menyenangkan. Gurat mukanya keras. Tatapan matanya tajam. Umurnya mungkin berbilang empat-puluh tahun. Tubuhnya terlihat kekar dan gempal. Jabat-tangannya keras-mencengkeram. “Kau mau segelas cokelat panas, Ray? Aku baru tiba. Warga baru. Kau penghuni kampung sini? Tempat yang menyenangkan, bukan.... Mau? Mari!” Orang itu balik kanan. Tanpa merasa perlu menunggu jawaban ya atau tidak dia dengan rileks sudah melangkah kembali ke rumahnya. Seperti kalian yang menawari seseorang dan yakin sekali orang itu akan menerima tawaran tersebut. Ray menelan ludah untuk ke sekian kalinya. Tapi, entah apa yang dipikirkannya dia melangkah mengikuti orang tersebut. Orang ini benar-benar bukan hanya jabat-tangannya yang mencengkeram, ada sesuatu dari tatapan mata, gurat muka serta intonasi bicaranya yang juga mencengkeram, mengendalikan. Menguasai. Hujan terus turun menderas. Kilat menyambar membuat terang seluruh kota. Geledek berdentum seakan-akan ingin mengalahkan suara air membuncah tanah. Musim penghujan kali ini, Ibukota sempurna diguyur hujan setiap malam. Orang itu meletakkan payung di sudut teras. Mempersilakan Ray masuk ke ruang depan. Ini untuk 156 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m pertama kali Ray masuk rumah besar dua tingkat tersebut. Selama ini dia hanya lewat di depannya. Mewah. Rumah ini memang mewah. Sebelas kamar? Entahlah. Ray sungkan duduk di sofa, bajunya kuyup. Orang itu tertawa, mengangkat bahu, menyuruhnya duduk saja, “Kecuali kau mau duduk di lantai, Ray!” Beberapa menit, orang itu kembali dari belakang. Membawa dua gelas besar cokelat panas. Mengepul. Menjanjikan kehangatan dan kenikmatan dari semerbak aromanya. Ray akhirnya duduk di atas sofa. Menerima gelas yang terjulur.... Malam itu, Ray mendapatkan 'teman baru'. Meski dia tetap tak nyaman akan sesuatu yang ganjil dari cara kenalan barunya menguasai orang lain, sejauh ini dia merasa nyaman dengan percakapan mereka. Plee, mengaku pindah dari kota lain. Tinggal sendirian. „Terlalu besar memang, tapi tak masalah, toh sewanya murah. Tidak ada yang mau menyewa rumah ini, bukan...‟ Pekerjaan Plee berdagang. Berdagang? Entahlah, Ray tak terlalu memperhatikan. Orang itu memberikan baju ganti ke Ray, yang sekali lagi tidak bisa ditolak olehnya. Bertanya banyak hal. Ray menjawab pendek. Tidak banyak yang bisa diceritakan. Ray malas bercerita soal masa lalu itu. Bilang mengamen. Tinggal dekat sini. Kamar petak sempit. Hanya itu. Plee bertanya lagi soal meluncur barusan. Ray tertawa kecil. Menjelaskan dengan nada suara jauh lebih rileks. Sudah terbiasa. Dia malah bisa memanjat tower itu melalui tiang-tiangnya. Mudah. Tanpa157 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m perlu pegangan siku, malah. Dari dulu soal memanjat dia biangnya. Kebiasaannya memandang rembulan dan bintang membuatnya terlatih naik ke tempat-tempat tinggi. Plee menyeringai mendengar penjelasan Ray. Kemudian tersenyum riang. “Apa kau bosan mengamen?” Plee bertanya. “Ergh, bosan maksudnya?” Ray balik bertanya, bingung. Orang di hadapannya suka sekali berpindah-pindah topik pembicaraan. Langsung lompat begitu saja. Malah terkadang Plee terlihat sama-sekali tidak memerlukan jawaban Ray. “Ya maksudku.... B-o-s-a-n. Selalu itu-itu saja.... Seperti orang lain yang bosan dengan pekerjaannya. Mungkin kau menginginkan pekerjaan baru. Suasana baru.... Orang itu mengangkat bahu, memainkan gelas besar yang sudah kosong di atas meja. “Pekerjaan baru? Hanya ini yang bisa kulakukan,” Ray mengusap rambutnya yang mulai mengering. Tidak ada jam di dinding ruangan. Tapi pasti sudah cukup lama mereka berbincang. “Oo...” Orang itu berkomentar pendek. Mengangguk. Hujan di luar mereda. Ray menghabiskan beberapa tetes terakhir cokelat di gelasnya. Sudah waktunya pulang. Bukan apa-apa, dia memang tak perlu bangun pagi-pagi besok, tapi selarut ini, orang di depannya mungkin sudah waktunya istirahat. Di Rumah Singgah dulu. Bang Ape tidak pernah memberlakukan jam malam, tapi anakanak mengerti tenggat waktu beranjak tidur. Plee mengantar Ray ke teras depan. “Kau bawa saja payungnya!” Ray mengangguk. Menelan ludah. Dari tadi semua 'perintah' orang ini 158 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m tidak ada yang bisa dibantahnya. Ray mendorong pintu besi. “Itu bekas luka apa?” Plee mendadak bertanya. Menghentikan langkah. Menunjuk bahu. Kaos berlengan pendek yang dipinjamkan orang itu membuat bekas luka di bahu Ray terlihat dari tadi. “Terjatuh-” Ray menjawab enggan. Malas membicarakan masa lalu itu. Lagi pula orang ini baru dikenalnya beberapa saat. “Oo....” Plee berkomentar pendek. Mengangguk. Ray melangkah pulang. LoveReads Perkenalan dengan Plee membuat hidup Ray berubah. Lebih dari setahun dia hidup sendiri. Maka Plee menjadi kawan baru. Sudah lama Ray tidak memiliki teman berbincang seperti di Rumah Singgah. Pengamen lain? Mereka baru saling menegur kalau ada maunya, seperti pinjam uang untuk beli senar baru. Hubungan mereka agak unik. Plee dengan umur berbilang empatpuluh tahun lebih cocok menjadi ayah bagi Ray yang menjejak usia dua puluh tahunan. Tetapi karena penampilan dan gaya Plee yang selalu terlihat muda, perbedaan usia itu tak terlalu mencolok. Plee rajin menawarinya berkunjung. Mampir. Dan Ray seperti biasa tak bisa menolak ajakan tersebut. Apa salahnya? Plee dengan senang hari menyiapkan segelas cokelat panas setiap kali dia singgah. Lantas membincangkan banyak hal, meskipun sebenarnya lebih banyak membicarakan tentang Ray. Plee jarang menjelaskan tentang R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m Lagi-lagi hanya bilang berdagang! Ray tidak ambil pusing tentang itu, meskipun dia selalu melihat hampir sepanjang hari Plee ada di rumah tersebut, dan jelas-jelas tidak ada barang dagangan di rumah besar kontrakan itu. Sekali-dua mereka bercakap di atas tower air. Membawa gelas-gelas ke atas sana. “Bukan main, ini tempat yang hebat, Ray! Pantas saja kau suka berlama-lama di sini, bahkan tidak peduli meski hujan deras turun....” Plee tertawa lebar. Ray hanya mengangguk. Tempat ini memang hebat. Dan bagian yang menyenangkan Ray, apalagi kalau bukan menunjukkan kemahirannya naik-turun meluncur dari tower air. Plee membutuhkan waktu dua kali lebih lama dari Ray saat menaiki tower tersebut. Padahal Plee menggunakan anak tangga. Apalagi saat turun, gaya meluncur Ray tak tertandingi. Dan waktu berlalu tanpa terasa. Pertemanan itu semakin akrab. Entah kenapa, seminggu terakhir, Ray tidak menemukan Plee di rumahnya. Kepalanya celingukan saat pulang malam-malam dari mengamen, menemukan rumah itu gelap-gulita. Semua lampu mati. Ray mengusap wajah, mungkin Plee sedang berdagang entah kemana. Pergi ke kota lain. Atau sedang berkunjung entah kemana. Bukankah orang seumuran Plee sepatutnya punya keluarga? Mungkin Plee sedang mudik ke kota lamanya. Persis seminggu kemudian, rumah itu kembali terang oleh nyala lampu. Kali ini Ray yang menyempatkan mampir. Ray tersenyum senang, membayangkan segelas cokelat panas segera mengisi perut-160 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m nya yang kedinginan. Plee tidak ada di kursi teras rumah seperti biasanya. Ray melangkah masuk. Meletakkan gitar di kursi rotan. Mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Mungkin Plee di lantai atas. Rumah ini besar. Bel-nya rusak. Jadi Plee tidak akan mendengar kalau ada tamu yang datang mengetuk pintu. Ray menyentuh gagang daun pintu, tak terkunci. Mendorongnya. Ragu-ragu melangkah masuk. Sebulan terakhir dia dan Plee sudah jadi sahabat baik. Mungkin tidak masalah kalau dia menyelinap masuk. Ray mendekati sofa tempat biasa mereka berbincang. Ada beberapa kertas berserakan. Denah-denah. Catatan-catatan. Fotofoto. Stop-watch. Pernak-pernik alat lainnya. Entahlah. Ray menyeringai tak terlalu memperhatikan. Duduk. Melemaskan tangan dan kakinya yang pegal. Duduk di sofa ini selalu menyenangkan. Ray tersenyum. Sepanjang hari berdiri dari satu gerbong KRL ke gerbong lain membuat kakinya pegal. Apalagi nanti kembali ke kamar petak sempitnya hanya tikar yang jadi alas tidur. Sofa ini menyenangkan... “Ray! Lama tak jumpa!” Plee keluar dari ruang tengah. Berseru riang. Tangannya basah. Dikibas-kibaskan. Ray buru-buru memperbaiki posisi duduk. Tadi dia berbaring, macam meniru gaya petinggi kaya saja. “Apa kabarmu, Ray?” Plee bertanya, tersenyum, duduk. “Baik!” Ray ikut tersenyum. Berjabat tangan. Plee pura-pura memukul lengan Ray. Akrab. Ray nyengir. Tertawa. Plee membenahi kertas-kertas penuh carut-marut di atas meja. Menumpuknya jadi satu. Juga peralatan R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m Ray memperhatikan, basa-basi bertanya, “Itu peta apa?” “Peta harta karun!” “Harta karun?” Ray menyeringai bego. Plee tertawa. Melambaikan tangan. Ray mengusap muka, ikut tertawa. Menyadari kalimat bodohnya. Sejak malam itu kebiasaan Ray mampir ke rumah kontrakan Plee kembali rutin. Kembali menikmati segelas cokelat panas. Plee bilang dia baru balik dari kota lamanya, ada urusan kecil selama seminggu. Ray mengangguk. Benar kan apa yang dia duga! Plee mudik. Dua minggu berikutnya, pembicaraan itu semakin dekat. Ray sudah jauh lebih nyaman dengan ekspresi muka, tatapan mata, dan intonasi suara Plee yang amat mengendalikan. Sekali-dua Ray malah mengingatnya baik-baik. Dia pembelajar yang cepat. Pemerhati yang cakap. Mulai mengerti bagaimana menggunakan pengaruh aneh seperti itu ke orang lain. Belajar trik-triknya secara otodidak. Kalau dia bisa sehebat Plee dalam urusan menguasai orang lain, dia mungkin bisa membuat seisi gerbong KRL memberikan uang meski dia nyanyi sambil teriak-teriak. Ray nyengir memikirkan idenya. Malam-malam berikutnya Ray senang hati menceritakan muasal bekas lukanya. Plee mengangguk, ber-Oo pendek, komentar khasnya. Ray menceritakan masa-masa di Rumah Singgah tersebut, empat tahun terakhirnya di Ibukota. Semuanya! Kecuali masa-masa enam belas tahun di Panti yang menyebalkan. “Kau sendirian? Mereka berlima? Bukan main! Kau hebat, Ray!” Plee mengusap ujung hidungnya. Tersenyum ganjil. Mereka baru saja162 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m membicarakan perkelahian di pasar Induk. Ray melambaikan tanganini meniru gaya Plee. Mukanya sedikit memerah, dipuji. Lihatlah! Siapapun yang mendengar kejadian tersebut seharusnya memberikan respon seperti Plee. Bukankah dia melakukan hal yang hebat dan membanggakan. “Kalau aku boleh bilang, kau benar-benar anak-jalanan yang berbeda, Ray! Amat berbeda. Kau memiliki sesuatu.... Sesuatu yang sudah sepatutnya membuat hidupmu jauh lebih hebat dari sekadar menjadi anak-jalanan.... lihatlah! Apa yang kurang? Kau cerdas, amat cerdas. Berani, kelewat berani malah, haha...Punya fisik luar biasa. Dan lebih dari itu, kau memiliki bakat, Ray....” Plee menangkupkan tangannya. Memandang Ray tajam, tersenyum. Ray menggaruk rambutnya yang tak gatal. Nyengir. Kali ini Plee sepertinya berlebihan. Dia berbeda? Apanya yang beda? Dia hanya pengamen di gerbong KRL-Yang tidak pandai bernyanyi. Tidak lebih. Tidak kurang. “Apa kau tidak ingin melakukan sesuatu yang jauh lebih hebat dibandingkan mengamen, Ray?” Plee bertanya dengan intonasi ganjil. Menyeringai. Ray diam. Pengetahuan dan kemampuannya terbatasDan seminggu kemudian, Ray mengerti apa maksud kalimat Plee tentang apakah kau bosan mengamen. Malam itu persis hujan deras sekali lagi mengguyur Ibukota. Malam itu, Ray yang kuyup mampir ke rumah Plee. Gitarnya basah. Pakaiannya basah. Plee menyuruhnya mandi. Memberikan handuk kering dan pakaian R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m Lima belas menit kemudian saat Ray kembali, ruang depan tempat mereka biasa berbincang gelap. Kenapa gelap? Mati lampu? “Kemari, Ray! Hati-hati, lampunya sengaja kumatikan!” Ray menelan ludah, tak mengerti. Perlahan melangkah mendekat sambil mengelap rambut. Membenamkan tubuhnya di sofa empuk. Plee yang duduk di hadapannya terlihat seperti bayangan. Hujan deras di luar membuat langit kota gelap. Hanya kilat menyambar yang membuat terang sejenak. “Kau lihat ini, Ray!” Plee berkata pelan. Ray menatap ke depan. Tangan Plee memegang sebuah kotak kecil. Petir menyambar, kotak yang indah. Ray meletakkan handuk basah. Plee melepas pelan tutup kotak tersebut. Dan saat sempurna terlepas, kemilau indah ber-pendar-pendar dari dalam kotak.... Kerlap-kerlip yang memesona. Ray menahan nafas. Ini apa? Matanya berkerjap-kerjap. “Kau mau menyentuhnya?” Plee tanpa perlu menunggu jawaban mengulurkan kotak kecil itu. Tangan Ray patah-patah menerimanya. Menelan ludah. Luar biasa. Benda ini luar biasa. Benda ini adalah berlian. Gemetar jemari Ray menyentuh berlian kecil itu. Tergolek di atas kotak beludru. Seumur-umur dia belum pernah melihat benda seindah dan semahal ini.... “Indah bukan?” Plee tertawa menyimak ekspresi Ray. Kemilau berlian yang berpendar membuat wajah terpesona Ray jelas R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m “Kau tahu, berlian ini berharga lebih dari ratusan juta, mungkin milliaran....” Plee mendesiskan sesuatu. Bersiap menjelaskan rencana besar yang tertahan hampir tiga bulan. Ray gemetar meletakkan kotak kecil ke atas meja. Apa tadi Plee bilang? Harga berlian? Ratusan? Milliaran? “Inilah pekerjaanku, Ray. B-e-r-d-a-g-a-n-gl Berdagang berlian.... Tapi aku tidak pernah membeli! Aku hanya menjual. Ya! Hanya m-en-j-u-a-l!” Plee tertawa kecil. Suaranya terdengar amat ganjil. Ray mengangkat kepala. Belum mengerti apa maksudnya. “Aku akan menawarkan sebuah kesempatan hebat kepada-Mu! Apa pernah kubilang? Kau anak-jalanan yang berbakat, Ray! Amat berbakat. Kau bisa melakukannya. Pasti bisa. Sebulan terakhir aku menyiapkan rencananya. Semuanya.... Dan hanya kau yang bisa melakukan rencana-rencana itu.... Kau lihat berlian ini? Ini hanya seperseratus harganya dari berlian yang akan kita ambil! Aku akan memberikan kau kesempatan melakukan sebuah rencana pencurian terbesar yang pernah ada, Ray.... Mengambil Berlian Seribu Karat!” Ray mendadak mengkerut. Suara Plee terdengar mengendalikan, lebih mencengkeram dari biasanya. Suara itu bagai menguasai seluruh tubuhnya. Menyentrum seluruh pori-pori kulitnya. Plee tersenyum. Membiarkan hening sejenak. Kemudian dengan gerakan anggun, menutup kembali kotak beludru. Tanpa kemilau dari berlian, tanpa cahaya dari kilat, ruangan itu gelap. Gelap-gulita. Segelap hari Ray sekarang. LoveReads165 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m KRL melenguh mengusir orang-orang yang suka berjalan sembarangan di atas rel. Rangkaian gerbong kereta melesat masuk ke dalam terowongan. Gelap-gulita. Di dalam terowongan tak ada yang bisa dilihat dari atap gerbong, kecuali gelap. Pasien berumur enam puluh tahun itu mengusap wajahnya yang kebas oleh terpaan angin. Tangannya mencengkeram tepi-tepi atap. Menguatkan pegangan. Kenangan-kenangan ini, semuanya kembali memenuhi kepalanya. Kembali tak-tertahankan. Buncah berebut mengisi setiap lembar memorinya- “Dan kau benar-benar menjemput masa-masa gelap dalam hidupmu, Ray!” Orang dengan wajah menyenangkan yang duduk di sebelahnya mendesah dalam kegelapan terowongan. Memotong kenangan.... Pasien itu terdiam. Memperbaiki posisi duduk. Sejak beberapa menit lalu dia memutuskan untuk berhenti bertanya soal siapa orang ini. Juga berhenti bertanya tentang apa yang diinginkannya, apa maksud semua ini. Kenangan-kenangan ini sudah cukup membuatnya berpikir banyak. Bertanya lebih banyak lagi. “Apa salahnya menjadi orang jahat-” Ray berkata pelan setelah terdiam lama, untuk pertama kalinya memberikan komentar. “Ya! Apa salahnya menjadi orang jahat....” Orang dengan wajah menyenangkan itu tertawa getir. Terowongan yang gelap membuat Ray tak bisa menyimak betapa getirnya eskpresi wajah orang yang duduk menjuntai di sebelahnya. “Kau pasti pernah mendengar olok-olok.... Olok-olok yang sayangnya serius sekali.... Buat apa kehidupan panjang yang baik jika di penghujung sebelum maut menjemput harus 166 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m berakhir dengan keburukan... Lebih baik kehidupan panjang yang buruk tapi di penghujung sebelum maut datang, berakhir dengan kebaikan... Bagai mengumpulkan air segalon raksasa kemudian bocor, kebaikan-kebaikan itu musnah oleh penghujung yang jelek...Bagai musim kemarau yang panjang terkena hujan satu jam, keburukankeburukan itu berguguran oleh penghujung yang baik- Kau benar Ray, apa salah-nya menjadi orang jahat-” Gelap. Pasien itu menggigit bibir, mengkal mendengar untuk kedua kali orang di sebelahnya menggunakan kalimat miliknya. “Masalahnya kau tidak seharusnya jahat, Ray! Kau tidak seharusnya menjalani masa-masa gelapmu dengan alasan karena hidup ini tidak adil.... Kau tidak seharusnya menyalahkan orang-orang yang membuat kehidupanmu buruk.... Mencari pembenaran-pembenaran-” “KAU BILANG AKU MENCARI PEMBENARAN?” pasien berumur enam puluh tahun itu memotong penjelasan. Berteriak, “Kau tahu apa yang dilakukan preman-preman itu kepada Ilham. Kau tahu apa yang terjadi pada Natan.... DAN KAU TAHU APA YANG DILAKUKAN ORANG-ORANG JAHAT ATAS KEBAKARAN DISENGAJA ITU.... Kalau hidup ini adil kenapa mereka dibiarkan oleh Tuhan! KENAPA!” Suara pasien itu terdengar jengkel sekali. Orang ini, orang yang duduk di sebelahnya ini berani sekali bilang soal tidak seharusnya. Tahu apa dia, coba? “Aku tahu, Ray! Tapi bukankah sudah kukatakan sebelumnya kau tidak seharusnya menyalahkan orang-orang atas nasib burukmu. Meskipun itu lazim dilakukan orang-orang-”167 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m “LANTAS AKU HARUS MENYALAHKAN SIAPA? TUHAN?” Orang dengan wajah menyenangkan itu tertawa getir, “Kalau kau tidak boleh menyalahkan orang lain, apalagi menyalahkan Tuhan. Itu tidak bisa dilakukan, meski amat lazim juga dilakukan orang-orang.... Terus terang, ini bagian penjelasan paling sulit dari lima pertanyaan, Ray.... Bukankah sudah kukatakan sebelumnya, jawaban atas pertanyaan ini berjuta bentuknya. Karena keadilan mengambil berjuta bentuk pula.... Orang-orang terpilih sekali pun, terkadang lalai mengenali bentuk-bentuk keadilan itu, karena kita selalu beusaha mengenalinya dari sisi yang kasat mata....” Pasien itu mengusap mukanya, menelan ludah, berusaha mengendalikan diri. Menahan teriakan berikutnya. Kalau orang di sebelahnya mencoba membujuknya soal hidup ini memang adil, itu tak akan ada gunanya. Sepanjang hidup, dia sudah lelah atas berbagai kenyataan pahit yang harus dia hadapi. Kebahagiaan-kebahagiaan yang direnggut langit padahal sejengkal lagi menjadi nyata. “Baik-Baiklah, aku akan menjawab pertanyaanmu dari muasal kenapa pertanyaan itu muncul.... Ah, mungkin harus selalu begini pertanyaan ini dijawab.... Entah sampai kapan orang-orang bisa menjawabnya tanpa perlu menelusuri kembali hal-hal tak kasat mata yang tidak diketahuinya.... Baiklah, mari kita telusuri satu-persatu...” Gelap. Kereta masih melesat menembus terowongan. “Aku tahu, malam itu saat kau memutuskan untuk melakukan apa yang diminta Plee, itu bukan semata-mata karena Plee pintar mengendalikan orang lain. Tapi karena kau sudah amat sebal dengan pertanyaan-pertanyaanmu.... Kau 168 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m berkali-kali mengutuk di atas tower air itu, kenapa orang-orang jahat selalu dimudahkan jalannya, kenapa orang-orang baik sebaliknya.... “Pertanyaan-pertanyaan mengutuk di atas tower air itu muncul karena kejadian-kejadian di Rumah Singgah.... Tiga kejadian- Kau terpaksa pergi dari rumah itu karena perbuatan jahat orang lain, itu yang pertama. Kau menyalahkan begundal-preman itu karena merusak lukisan Ilham, dua. Kau menyalahkan preman-preman itu karena menghancurkan mimpi-mimpi Natan, tiga.... Tiga hal yang mengganggu! Meskipun ketiga-tiganya sebenarnya bukan muasal utama kenapa pertanyaan apakah hidup ini adil bagimu.... Tapi ketiga hal tersebut menjadi katalis, mempercepat, memperbesar pertanyaan. Baiklah.... Aku akan jawab dulu tiga bagian ini sebelum melanjutkan menelusuri muasal utamanya,” Orang dengan wajah menyenangkan itu menghela nafas. Terang. KRL keluar lagi dari terowongan. Langit semakin Jingga. Senja yang indah di Ibukota. Warna Jingga berpendar-pendar di kacakaca gedung pencakar langit. Jalanan padat. Orang-orang kembali dari kerja. Awan putih bagai kapas yang sekarang terlihat kemerahmerahan membungkus langit. Burung layang-layang melenguh. Menggoda pasangannya. “Satu. Kau berkali-kali bilang, kau terpaksa pergi dari rumah itu karena perbuatan jahat orang lain, kau menyalahkan preman-preman itu.... Kau keliru, Ray. Siapa yang menyuruhmu pergi? Tidak ada, bukan? Bang Ape? Dia tidak pernah menyuruhmu pergi! Tahukah kau. Bang Ape justru mencarimu sepanjang tahun...Menelusuri bus-169 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m bus.... Bertanya kesana-kemari. Dia pikir ketika kau pergi dari kantor polisi setelah berteriak-teriak, itu hanya kemarahan sementara, kau akan kembali ke Rumah Singgah... “Tapi dia keliru. Kau tidak pernah kembali. Sepanjang tahun Bang Ape dan anak-anak berusaha mencari jejakmu. Jadi siapa yang menyuruhmu pergi? Jiwa muda serba tanggungmu-lah yang terlalu cepat mengambil kesimpulan. Terlalu cepat menyalahkan orang.... Oude dan Ouda bahkan iseng membuat pengumuman di sepotong ketus, 'DI CARI! HIDUP ATAU MATI!” Orang dengan wajah menyenangkan itu tertawa. Melambaikan tangan, mengabaikan ekspresi tidak tahu Ray, “Kau memang tidak tahu itu, karena kau tidak peduli... Berapa kali kau melihat kertas itu, tapi karena kau tidak peduli, kau bahkan tidak mengenali itu foto nyengir wajahmu sendiri...” Ray terdiam, mengusap wajahnya. “Dua. Sekarang tentang Ilham! Kasat matanya yang kau tahu Ilham gagal mengikuti pameran besar tersebut. Kasat matanya kau menyumpahi preman-preman itu. Menyalahkan langit yang membiarkan orang-orang jahat itu.... Kata siapa Ilham gagal? Ah, ketika dulu aku harus menjawab tiga pertanyaan dari manusia pilihan yang kuijinkan mengikuti perjalananku, kasusnya juga sama seperti kau, dia juga hanya melihat hal-hal yang kasat mata.... Kau tahu, tanpa dirusak sekalipun, Ilham tetap tidak akan bisa ikut pameran lukisan itu... Kalian terlalu melebih-lebihkan kemampuan Ilham. Terutama kau dan Bang Ape! Lukisan Ilham biasa-biasa saja. Kalau saja hari itu dia berhasil menyerahkan lukisan lersebut ke kurator museum, maka170 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m musnah sudah harapannya menjadi pelukis terkenal. Kurator itu tidak akan pernah lagi mempercayai penilaian Bang Ape. Lukisan itu standar! Tidak lebih. Tidak kurang.... “Sepuluh tahun kemudian, saat Ilham sudah benar-benar siap, kesempatan baiknya baru datang.... Kau tidak tahu memang, karena Ilham selama sepuluh tahun itu selain belajar bagaimana membuat lukisan yang lebih baik, juga mendapatkan bonus dan kegagalan sebelumnya belajar tentang kerendahan-hati. Ilham memutuskan untuk tidak menuliskan nama di setiap lukisannya... “Bukankah di ruang kerjamu yang menjulang tinggi, di gedung konsorsium bisnis menggurita milikmu ada satu lukisan yang amat istimewa, Ray? Lukisan yang kau beli. dalam pelelangan.... Lelang terbesar dan termahal. Itu lukisan Ilham sebulan sebelum meninggal. Itulah mahakaryanya...Dibuat khusus untukmu. Lukisan rembulan sabit yang indah...” “Lukisan itu? I-l-h-a-m?” Pasien itu tercekat. Matanya membulat. Sebenarnya dia hendak bertanya, Ilham sudah meninggal? Tetapi yang keluar dari mulutnya hanya kalimat itu. “Ya! Itu lukisan Ilham.... Anak itu meninggal di usia 32 tahun. Hanya menikmati masa-masa hebatnya selama dua bulan. Tapi dia mendapatkan penghujung yang baik. Tidak peduli meski hanya dua bulan.... Apakah hidup ini tidak adil bagi Ilham, Ray?” Orang dengan wajah menyenangkan itu tersenyum arif. Pasien berumur enam puluh tahun itu R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m “Tiga! Tentang Natan! Dia memang kehilangan semua mimpi-mimpi indahnya. Musnah tak berbekas. Itu kalau kau memahaminya dari sisi yang terlihat. Dia tidak akan pernah menjadi penyanyi. Itu yang terlihat. Kasat mata. Tapi tahukah kau, langit memberikan apa yang sebenarnya Natan cita-citakan. Apa yang sebenarnya Natan ingin lakukan- Kau tahu fakta itu, fakta ayah Natan pergi meninggalkan ibunya.... Ibunya meninggal karena kemiskinan dan sakit hati.... “Sejak tahu dan mengerti kisah hidup menyakitkan itu, Natan bermimpi menjadi seseorang yang bisa menggerakkan hati. Natan benci sekali dengan ayahnya, bagaimana mungkin ayahnya tega meninggalkan mereka. Bagaimana mungkin hati manusia bisa sekelam itu.... Dan Natan bermimpi menjadi jalan untuk melumerkan hati orang-orang. Itulah cita-cita terbesar miliknya. Kau tahu bagaimana melumerkan hati orang? Menjadi penyanyi hanyalah satu dari banyak cara, Ray- Dan langit memberikan kesempatan lain yang lebih hebat kepada Natan.... Aku tidak akan menjelaskannya sekarang. Biarlah Natan yang men-jelaskannya. Bagaimana dia menggapai mimpi-mimpi itu- Semoga kau masih sempat mendengar penjelasan itu.... “Tapi sebelum penjelasan itu datang, percayalah, hidup ini selalu adil. Ray.... Kehidupan ini selalu adil-Keadilan langit mengambil berbagai bentuk- Sayang tidak semua bentuk itu kita kenali, tapi apakah dengan tidak mengenalinya kita bisa berani-beraninya bilang Tuhan tidak adil? Hidup tidak adil? Ah, urusan ini terlanjur sulit bagimu, karena kau selalu keras-kepala...”172 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m Pasien itu diam. Tepekur. Dia hendak memaksa orang di sebelahnya menjelaskan apa yang terjadi dengan Natan. Tapi menyadari dia tidak akan bisa memaksa-nya, pasien itu memutuskan untuk diam. Semua penjelasan ini menyesakkan.... “Nah, sekarang kita akan menjawab muasal utama kenapa kau bertanya apakah hidup ini adil. Bukan. Bukan berbagai kejadian di Rumah Singgah itu yang sebenarnya membuat malam-malammu di atas tower air diisi dengan mengutuk langit.... Bukan pula kejadian di Panti itu.... Tapi karena potongan koran tua itu.... Apakah kau membawa potongan koran tua itu, Ray?” Pasien itu mengangguk pelan. Seumur hidup, sejak menemukannya di tumpukan berkas bertuliskan namanya di panti, potongan koran itu tidak pernah terpisahkan. Pasien itu merogoh saku piyama rumah sakit yang dikenakannya. Menge-luarkan potongan koran yang semakin menguning dan tua. Mengulur-kan ke orang di sebelahnya. KRL menderu membelah kota. Sore makin Jingga! “Potongan koran yang penuh misteri bagimu, Ray.” Orang dengan wajah menyenangkan itu menghela nafas prihatin, “Ah tidak juga, kau berhasil mendapatkan separuh penjelasannya. Kau berhasil memastikan kebakaran itu memang disengaja. Untuk melancarkan pembangunan pusat perbelanjaan... Separuh yang lain tetap menjadi misteri...Muasal dari pertanyaan apa hidup ini adil bagimu....” Ray mengusap dahinya. Ya! Tetap jadi misteri. Siapa yang membakar rumahnya. Siapa yang tega R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m “Sebelum aku menjawabnya, maukah kau mengenang kembali kejadian-kejadian itu untukku?” LoveReads Plee memang pedagang. Pedagang besar malah. Benar apa yang dia bilang, berbeda dengan pedagang lain, Plee tidak pernah membeli, dia hanya menjual. Menjual berban curian. Ray akhirnya mengerti maksud percakapan mereka selama ini. Pertanyaan bekas luka. Pertanyaan apakah dia bosan mengamen. Mendengar berbagai rencana Plee tentang Berlian Seribu Karat itu, Ray bisa menyimpulkan, teman barunya bukanlah pencuri biasa. Plee memiliki reputasi. Dan malam itu Ray sedikit pun tidak mempunyai ide lain kecuali mendengarkan rencana-rencana Plee. Semua itu mengendalikannya. Pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya sesak setahun terakhir mempercepat prosesnya. Hidup ini tidak adil. Apa salahnya menjadi penjahat. “Kita hanya mengambil sedikit kekayaan dari orang lain, Ray! Mereka sudah terlalu kaya. Toh mereka mendapatkan kekayaan itu belum tentu dengan cara baik-baik!” Plee tertawa, mengusap gurat mukanya yang amat ganjil. Ray menelan ludah. Mengangguk. Entah setuju, entah tidak. Dan sebulan berlalu, sempurna dihabiskan untuk mematangkan rencana. Plee profesional. Jangan samakan dia dengan maling coro lainnya. Plee macam jagoan di film-film. Semua terukur. Semua diperhitungkan. Detail didetailkan. Strategi di-strategikan. Berlian itu ada 174 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m di safety-box lantai 60 gedung tertinggi Ibukota. Mendekat sepuluh meter dari kotak bajanya tidak mudah, apalagi mencurinya. Itulah gunanya Ray! Plee benar-benar terpesona melihat Ray naikturun tower air setinggi sepuluh meter. Kemampuan itu menjadi kunci penting untuk menerobos lantai 60 gedung tersebut. “Kau hanya memastikan kita bisa mencapai lantai tersebut, Ray! Itu tugasmu. Sisanya serahkan padaku!” Itu kata Plee di malam ke-18 rencana mereka. Plee membentangkan denah terbaru. Foto-foto pengintaian terbaru. Informasi terbaru. Ray mengangguk, menurut. Semakin ke sini, Ray semakin sedikit bertanya. Pikiran-nya terlanjur dipenuhi banyak hal. Dan satu saja dari itu cukup membuatnya sulit tidur seminggu terakhir berlian itu berharga puluhan milliar. Entah apa yang akan dilakukan pada bagiannya. “50-50, Ray! Kau partner setara bagiku. Aku tidak akan mengambil keuntungan sedikit pun dari persahabatan kita!” Plee tersenyum, menatap Ray seperti seorang ayah sedang menatap anaknya. Ray mengangguk. Menelan ludah. Lima puluh persen kali puluhan milliar. Angka yang tidak pernah dilihatnya. Dan soal kalimat partner setara itu, Plee lebih dari serius. “Aku hanya sekali kehilangan partner dalam urusan ini, Ray. Seumur hidup aku menyesalinya.... Tidak ada yang meninggalkan yang lain. Apapun yang terjadi besok, kita menjalaninya bersama. Tidak ada yang tertinggal.... Andaikata salah seorang dari kita tertangkap, maka tidak ada juga yang mengkhianati satu sama lain.... Tutup mulut, mengakui melakukannya sendirian....” Itu kalimat-kalimat menusuk Plee dua malam sebelum eksekusi. Plee 175 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m menatap tajam Ray. Untuk pertama kali, sejak Ray mengenal siapa Plee sesungguhnya, dia merasakan sisi baik orang tersebut. Kesetiaan. Jangan tanya Plee tentang kesetiaan. Malam terakhir sebelum eksekusi, di tengah-tengah hujan deras, di atas rower air, Plee menggenggam bahu Ray kencang-kencang, “Besok malam kita akan kaya, Ray! Kaya bersama-sama. tidak adayang meninggalkan yang lain!” Berteriak mengulang kalimatkalimat sebelumnya. Mereka bersulang. 'Bersulang cokelat panas yang sudah dinginbercampur air. Hujan turun semakin deras. Kilat menyambar. Guntur menggelegar. Dan Ray larut oleh sebuah janji. Bukan janji semu dadu bermata enam dalam tabung bambu, melainkan janji sebuah rencana yang tidak mungkin gagal. LoveReads Esok hari. Hari H. Pukul Plee meletakkan berbagai perlengkapan di kursi belakang Honda Accord tahun '72. Penampilan mobil itu menipu. Hanya bagian luarnya yang terlihat ringkih. “Mobil ini bisa melesat 100 km/jam dalam enam detik, Ray! Siapa tahu kita harus lari secepat mungkin dari kejaran petugas.... Meskipun aku tidak tahu apakah kita bisa melesat secepat itu di jalanan macet Ibukota!” Plee tertawa waktu menjelaskan memilih mobil tersebut dua minggu lalu. Pukul setelah makan malam di ruang depan, mereka bersiapsiap berangkat. Plee sengaja memesan seporsi kecil pisang bakar. 176 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m “Kita tidak ingin malam ini kau terlalu kenyang, Ray! Pisang. Makanan atlit yang baik... Tidak memerlukan banyak minum untuk membantu pencernaan. Repot kalau kau terpaksa ke toilet saat kita di atas nanti!” Plee tertawa lebar, dan Ray ikut tertawa. Urusan ke toilet masuk dalam checklist persiapan Plee nomor 97. Pukul Accord tahun '72 itu melesat di jalanan Ibukota. Menuju pemberhentian pertama. Stadion sesar. Malam itu stadion ramai. Ramai oleh orang-orang berlalu-lalang. Malam itu seluruh Ibukota memang ramai. Ramai oleh suara beduk ditabuh bertalu-talu. Ramai oleh suara takbir yang menggema ke segenap penjuru. Malam itu karnaval hari raya! Malam kemenangan! Sungguh waktu yang tepat untuk mengeksekusi rencana besar mereka. Berbagai aktivitas di gedung-gedung pencakar langit diliburkan sejak dua hari lalu. Penjaga-pen-jaganya terbawa suasana hari raya. Mengendurkan penjagaan. Satu-dua petugas itu malah sedang sebel. Rindu mudik, tapi tak bisa, tak ada jatah cuti tahunan. Jadilah, menatap mangkel keramaian jalanan. Plee benar-benar merencanakan semuanya, termasuk hitung-hitungan psikis tersebut. Accord tahun '72 merapat mulus di parkiran stadion. Ray dan Plee melompat turun. Mengenakan kostum jogging. “Waktu yang tepat untuk jogging, bukan?” Plee tertawa, memperbaiki tali sepatu. Ray mengangguk. Dia agak susah bicara, dari tadi nafasnya tersengal. Jarinya gemetar merapikan kaos tanpa lengan ke dalam celana pendeknya. “Ayo, Ray! Untuk seumuran kau, seharusnya kau kuat sepuluh kali putaran tanpa-henti!” Plee nyengir, melenturkan seluruh tubuh. 177 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m Ray mencoba rileks. Mengatur nafas. Basa-basi. Plee sedang berbasabasi. Sebulan terakhir, sejak Ray menyepakati rencana tersebut, setiap hari Ray harus bangun pagi-pagi. Langsung lari keliling kampung bantaran kali selama satu setengah jam penuh. Itu jadwal rutin yang diberikan Plee. Mereka harus fit 101 persen! Tidak ada lagi bangun kesiangan. Tidak ada lagi kebiasaan mengamen sampai larut malam di gerbong KRL. Stadion Besar ramai. Sebagian pengunjung berlalu lalang meramaikan kemeriahan malam hari raya. Bermain kembang api. Sebagian lainnya berolahraga, para pekerja kantoran yang tidak memiliki banyak waktu luang. Plee dan Ray melesat memutari stadion. Bergabung dengan mereka. Sepanjang lari, Plee mengajak Ray berbincang banyak hal. Ray hanya banyak menganggukBagi Plee urusan jogging malam ini punya dua tujuan. Pertama dan yang paling penting menyiapkan Ray. Dia tahu Ray berbakat. Tapi ini kali pertama baginya, dan langsung mendapatkan biangnya. Ray boleh saja dari ekspresi muka terlihat dingin dan terkendali, namun Plee tahu persis, anak muda ini sejak tadi sore sudah tersengal. Gugup. Sama gugupnya dengan partnernya duluKedua, tentu saja untuk menyiapkan pernak-pernik terakhir sebelum menuju lokasi eksekusi. Gedung pencakar langit itu dari stadion berbilang dua ratus meter. Malam ini, dari tepi-tepi stadion, gedung itu meski kosong oleh penghuninya terlihat bercahaya. Lampu-lampu kemeriahan karnaval malam hari R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m Stadion menjadi lokasi terbaik untuk mengamari situasi sasaran. Pukul Plee menghentikan lari. Ray tersengal, berusaha mengatur nafas, berdiri di sebelah Plee. Mereka melemaskan seluruh tubuh setelah dua puluh putaran nonstop. “Kalau kita gagal malam ini, setidaknya kau bisa menjadi atlit lari yang baik, Ray! Ditambah enam bulan latihan lagi, mungkin kau bisa memenangkan lomba Lari 10 Km!” Plee tertawa. Pukul langit Ibukota mendadak gelap. Awan tebal berarak-arak menutupi bintang-gemin-tang. “Bukan main, bahkan langit merestui rencana kita!” Plee takjim menangkupkan kedua telapak tangan. Mereka berdua rileks duduk bersandar di depan Accord '72. Menunggu. Ray menelan ludah. Teringat ucapan Plee dua minggu lalu. “Semoga hujan turun!” Memang lebih sulit bagi Ray mengurus lantai 60 itu, tapi hujan memberikan banyak kemudahan lain. Aktivitas mereka tersamarkanPukul gerimis membasuh Ibukota. Plee mengambil teropong bintang yang disiapkan di dalam bagasi mobil. Mereka berdua pindah, berdiri di tempat yang lebih tinggi. Anak tangga stadion. Hati-hati menyimak gedung sasaran mereka dari kejauhan. Plee menyapu bagian-bagian penting, mendesis, “Oke! Semua sesuai rencana!” Pukul hujan deras mengguyur Ibukota. Plee dan Ray melompat masuk ke dalam Accord ' R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m Mobil itu melesat menuju parkiran gedung pencakar langit. Saatnya beraksi. Plee memutar lagu dari sound-systems mobil. Ikut bersenandung pelan. Begitu tenang. Begitu yakin. Ray menoleh, menelan ludah. Melemaskan lehernya yang mulai terasa kaku. Pukul Petugas gerbang tidak banyak bertanya saat Plee memperlihatkan sepotong kartu. Hanya melambaikan tangan yang menggenggam pentungan, menyilahkan masuk. Malas memeriksa bagasi dan bagian bawah Accord '72 itu, melupakan buku panduan. Komplek gedung ini sebagian dijadikan apartemen. Kartu yang diambil Plee beberapa hari lalu dari tas salah-satu penghuni apartemen membuat lancar urusan. Mobil memutari gedung, meluncur ke area parkiran bawah, pelan merapat ke pintu lift basemen. Berhenti persis di depannya. Ray menyambar ransel besar di kursi belakang. Plee gesit menyampirkan ransel lainnya ke bahu. “Kau pakai, Ray!” Plee melemparkan sesuatu. Ray cekatan menangkap. Kaca mata hitam? Ray menatap kaca mata hitam tersebut, bingung. “Biar kelihatan keren!” Plee tertawa. Ray tanpa banyak tanya memakainya. Pukul berdua melangkah menuju lift. Menekan tombol. Pintu lift terbuka. Dengan kostum hitam-hitam, kaca-mata hitam, ransel besar, dan berbagai peralatan lainnya, melihat Plee dan Ray masuk ke dalam lift amat mengesankan. Lift berdesing. Ray mengatur nafas. Ajaib, semakin dekat urusan ini terlaksana dia semakin bisa mengendalikan diri. Malah naluri yang180 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m pernah dikenalinya saat melawan preman-preman itu kembali tak tertahankan. Ray merasakan antusiasme. Semangat. Seolah-olah semua hanya permainan. Merasakan detik-demi-detik berlalu, dan malah mula bisa menikmatinya. Plee memandangnya melalui cermin dinding lift, bergumam, anak ini memang berbakat. Pukul Pintu lift terbuka. Lift hanya bisa mengantarkan mereka hingga lantai 47. Terhenti. Lantai berikutnya membutuhkan akses khusus. Lantai 48 hingga 60, disewa oleh cabang bank internasional itu. Bank yang menyimpan berlian seribu karat di super-safetydeposit-box mereka. Plee melangkah tenang menuju pojok lantai 48. Sigap meletakkan ransel di lantai. Membukanya dengan cepat. Mengeluarkan semua peralatan. Tak ada percakapan. Tak ada jeda walau sejenak untuk saling memastikan. Tangan-tangan mereka yang bekerja. Terlatih. Dalam hentakan detik seperti gerakan konduktor sebuah orkestra. Ray mengenakan kostum. Pakaian pemanjat. Mema-sang google dan sarung tangan pada urutan terakhir. Memperbaiki posisi uzi di pinggang. Menepuk-nepuk ransel di pundak. Pukul Plee membuka jendela lantai 48. Sesuai rencana, gondok pembersih kaca tergantung persis di luar. Ditinggalkan pekerjanya sejak pukul tadi. Gondola itu berderit. Bergoyang-goyang pelan. Hujan deras menerpa. Angin kencang menderu. Memuntahkan bulir air ke dalam gedung. Plee menatap Ray. Saatnya-181 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m Ray menelan ludah. Mengangguk. Melompat keluar jendela. Naik ke atas gondola. “Tiga puluh menit, Ray!” Plee berteriak kencang. Ray mengangguk, tubuhnya segera kuyup. Petir menyambar. Ray menyeringai, menolehkan kepalanya sejenak ke bentangan kota. Menyaksikan pemandangan hebat di belakangnya. Siluet ribuan cahaya, lampu-lampu. Gurat petir di langit membentuk akar-akar serabut. Bulir-bulir air hujan membuat nuansa cahaya itu terlihat berbeda. Ray melemaskan tangan. Mendongak. Menatap ketinggian lantai 60. Mukanya terkena puluhan larik air hujan. Deras menghajar google yang dikenakan. Ray mendesiskan sesuatu. Lantas dengan mantap tangannya mulai menggenggam tali gondola. Apa salahnya menjadi orangjahat... Dan Ray mulai memanjat. Semua peralatan ini memudahkan gerak. Tidak sulit memanjat seutas tali baja tersebut. Apalah bedanya dengan tiang tower air. Dia sudah terbiasa memanjat meski di tengah hujan deras dan angin kencang sekali pun. Tali gondola ini memang bergerak-gerak, tetapi selebihnya sama saja dengan tiang tower air. Plee menyeringai di bawah. Mengeluarkan buku kecil dan sebuah pulpen. Bersenandung riang. Bersandarkan dinding lorong, sambil menatap pemandangan di hadapannya mulai menuliskan sesuatu di buku tersebut. Mencatat perjalanannya. Dear diary... Pukul dua puluh menit berlalu. Gondola bergetar pelan. Bukan oleh deru angin atau terpaan air hujan. Bergetar oleh gerakan mesin hidraulik. Plee melipat buku kecilnya. 182 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m Ray sudah tiba. Beberapa detik sempat menatap betapa indahnya kota dari ketinggian ratusan meter. Ini jauh lebih hebat dibandingkan atap genting Rumah Singgah. Juga tower air. Bukan main. Saat petir menyambar, dia bisa melihat siluet pelabuhan dipenuhi kapal-kapal di kejauhan. Memesona. Sayang, susah-payah memanjat, tujuannya bukan untuk menikmati betapa eloknya bentangan Ibukota. Ada yang lebih penting. Ray menghidupkan mesin gondola. Plee melompati bingkai jendela. Gondola itu bergerak. Naik! Mengencangkan ikatan peralatan di pinggang. Gondola berhenti persis di depan jendela kaca lantai 60, Plee mengambil alih sisa pekerjaan. Plee membuka jendela dengan alat pemotong kristal. Meletakkan hati-hati potongan kaca tersebut. Menyelinap masuk. Lantai itu gelap. Plee tahu persis apa yang dihadapinya. Gelap! Pertanda lorong lantai dilindungi sensor panas dan deteksi gerakan. Itulah guna peralatan yang ada di pinggangnya. Plee segera beraksi bak jagoan di film-film. Meliuk-liuk menembus jebakan. Merayap. Bergelantungan. Sedikit demi sedikit. Hingga mendekati ruang kaca setebal lima belas send, tempat kotak baja itu berada. Ray menurunkan lagi gondola ke lantai dasar. Lantas menunggu di atas. Duduk mencangkung. Kepalanya tengadah menatap langit. Melepas google di wajah. Air hujan menerpa pipi dan dahi. Ray mendesah pelan. Sebulan terakhir, untuk pertama kali kepalanya kosong dari pertanyaan menyesakkan itu. Peduli amat dengan Ilham. Peduli amat dengan Natan. Peduli amat dengan kebakaran disengaja. Dia sudah memutuskan menjadi orang jahat. Menjadi bagian orang-183 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m orang yang disalahkannya selama ini. Dulu, malam hari raya juga dihabiskannya duduk sendiri di luar atap panti. Dulu, malam hari raya juga dihabiskan duduk di atas tower air. Sama! Hujan. Kedinginan. Sepi. Sendiri.... Pukul Ray mengusap muka. Menyibak anak rambut. Melihat jam di pergelangan tangan. lima belas menit lagi. Plee pasd sedang berkutat memecahkan kode ruangan kaca. Petir menyambar membuat terang seluruh kota. Ray menatap kejauhan. Pucuk-pucuk layar perahu nelayan yang tertambat di pelabuhan terlihat sekali lagi. Pemandangan yang mengesankan. Begitu damai. Menenteramkan.... Apa yang dia bilang. Tuhan memang selalu memudahkan jalan orangorang jahat. Lihatlah! Semua urusan ini lancar... Sayang, belum habis Ray membenak, mendadak sirene lantai 60 mendengking kencang. Ray terkesiap. Melompat dari duduknya. Apa yang terjadi? Apa yang salah? Plee membuat kesalahan? Bagaimana mungkin? Bukankah rencana itu terlalu sempurna untuk gagal? Ray buru-buru membuang pertanyaan itu. Buru-buru mengenakan google. Dalam hitungan detik bagai seekor bajing, dia melompat ke tali baja gondola. Meluncur turun dengan kecepatan tinggi. Berhenti persis di jendela yang dibolongin Plee. Yang Ray pikirkan sekarang hanya satu apapun yang terjadi tidak ada yang meninggalkan yang lain. Tubuh atletis Ray gesit melompati lubang kaca. Sirene terdengar R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m 10 menit, 00 detik! Hanya itu waktu yang mereka miliki sebelum gedung dipenuhi oleh ratusan petugas polisi. Ray menerobos lorong lantai 60 yang sudah dipenuhi kabut. Apa yang terjadi dengan Plee! Di mana Plee? Dia harus segera menemukannya. Ray ingat denah lantai itu, seingat kepalanya dulu merekam semua jalur melarikan diri di terminal. Plee memberikan denah-denah itu. Plee yang menyuruhnya menghafal, meski urusan membobol lantai 60 itu bukan tugasnya. Rencana darurat, siapa tahu diperlukan.... 09 menit, 05 detik! Ray berlari, menerobos pintu-pintu. Melewati lorong-lorong. 08 menit, 13 detik! Ray berbalik. Dia keliru membedakan pintu. Menyumpah-nyumpah google di kepalanya yang mengganggu penglihatan. Tiga puluh detik berharga terbuang percuma. 07 menit, 46 detik! Ray menarik uzi dari pinggang. Pintu kayu di hadapannya terkunci. Memberondong gerendelnya dengan rentetan peluru kaliber 21 mm. Menendangnya. Pintu itu berdebam terbuka. Dulu dia hanya punya linggis kecil... 06 menit, 23 detik! Ruangan kaca terlihat. Ray mendesis. Tidak ada siapa-siapa di sana! Di mana Plee? Plee merangkak menyentuh dinding-dinding kaca. Plee yang megapmegap. Mengetuk-ngetuk memberi tahu posisi. Ada satu bagian kecil yang dilupakan Plee. Sebenarnya tidak dilupakannya, malam itu setelah sekian kali diary-nya dipenuhi kata-kata berhasil, dia akhirnya 185 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m sial. Pemberat yang disiapkan Plee untuk menggantikan posisi berlian gompal sepersekian gram beberapa jam lalu, terhimpit barang-barang di jok belakang Accord '72. Hanya sepersekian gram, tetapi bagi rancangan alat deteksi keamanan super lantai 60, cukup sudah untuk memicu alarm. Ruangan kaca itu mengunci. Mengeluarkan asap maut. 05 menit, 57 detik! Ray tidak sempat berpikir panjang. Dia memasangkan magasin baru di u2i. Jangankan dia, bahkan Plee tidak tahu apa kode untuk membuka kembali ruangan kaca. Tapi dia harus segera 'memecahkannya'. Menekan “tombol pembuka” di senjatanya. Memberondong dinding kaca. Percuma! Kaca itu terlalu tebal. Peluru-peluru itu terhujam dalam, tapi tidak berpengaruh sedikit pun. Ray mendengus, dia punya linggis yang lebih besar. Sekotak kecil C4 yang jauh-jauh hari mereka siapkan. 04 menit, 15 detik! Ray melepas ransel di pundak. Mengeluarkan kotak maut tersebut. Bergegas memasangkan bom di pojok dinding kaca. Berlari berlindung. Plee di dalam dengan sisa-sisa tenaga berguling menjauh. Tak perlu timer. Ray mengarahkan uzi-nya ke kotak bom. Meledak. Dinding kaca hancur berkeping-keping. Ray melesat menyambar tubuh Plee yang hampir semaput. Plee masih sadarkan diri. Dia masih bisa berjalan meski tertatih-tatih. Udara segar di koridor membantunya segera pulih. Tidak ada waktu untuk bertanya, “bagaimana kondisimu?” Apalagi memastikan kondisi Plee. Omong-kosong film-film yang menunjukkan betapa dingin penjahatnya, yang sempat berbincang santai sebelum kabur. Mereka harus lari secepat R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m 03 menit, 30 detik! Ray membantu Plee menaiki tali gondola. Meluntur. Tubuh Plee meluncur dengan kecepatan tinggi. Ray hendak menyusul. MelompatSayang, dari belakang mereka, dari koridor lantai 60 yang berkabut, tiga orang petugas buas mengejar. Kesalahan kedua Plee malam itu. Ternyata masih ada tiga petugas berdedikasi penuh yang melakukan patroli lantai 48-60. Petugaspetugas itu tidak sebel karena urung mudik. Tidak juga sebel meski bonus tahunannya belum diterima. Petugas itu tetap disiplin menyisir satu demi satu lantai cabang bank internasional itu, tidak peduli seberapa canggih alat keamanan yang terpasang. Saat sirene mendengking, ketiga petugas itu tidak membutuhkan sepuluh menit, tapi hanya tujuh menit untuk tiba di lantai 60. Sebenarnya bisa lebih cepat, tapi lift terkunci otomads oleh bunyi alarm, perut gendut petugas-petugas itu memaksakan diri menaiki puluhan anak tangga. Keluar dari lorong persis saat Ray hendak lompat ke tali gondola. Tidak berpikir panjang, salah seorang dari mereka mengarahkan pistol. Tak perlu tembakan peringatan. Tak perlu teriakan berhentiD-O-R!! Ray urung melompat ke tali baja gondola, tubuhnya reflek berputar. Peluru mengenai jendela kaca. Hancur. Memperbesar lubang yang dibuat Plee. Serpihannya mengenai belakang kepala Ray. Entah apa yang dipikirkan Ray malam itu, dia mengangkat uzi di genggaman tangan. Entah apa yang ada di kepala Ray malam itu, dia menekan 187 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m tombol maut. Sekejap puluhan peluru muntah dari senjata otomatis miliknya. Melesat ke lorong lantai yang berkabut. Terdengar suara mengaduh. Dua petugas jatuh terjengkang. Ray tidak berhenti. Petugas ketiga sebelum akhirnya ikut terjatuh sempat menyalakkan sisa peluru dari pistolnya. Ray meringis. Perih. Dia merasakan perih. LoveReads Satu menit menegangkan berlaluPlee mengemudikan Accord '72 bagai kesetanan. Sirene belasan mobil polisi terdengar dari kejauhan. Mengaum di tengah deru bulir hujan membuncah kota. Accord '72 itu melesat keluar dari parkiran basemen. Ngebut menerabas taman gedung. Petugas parkiran depan gedung menguap, baru terbangun setelah sirene berdeng-king lebih dari sembilan menit di ruang jaganya. Bagaimana bisa? Dia mengenakan headphone. Mendengarkan lagulagu. Petugas itu melongo melihat mobil yang melesat menerabas air mancur gedung. Sekejap! Menghilang dalam lengangnya jalanan. Pukul Ray tergeletak tak berdaya. Darah bercampur air membasuh jok mobil. Tadi dengan rasa perih menusuk, Ray memaksakan diri meluncur dari tali baja gondola. Pahanya tertembak. Tidak ada yang boleh meninggalkan yang lain, Plee menunggu di lantai satu, tertatih memapah Ray menuju basemen gedung. Beruntung, soal n gebut Plee sejago menaklukan kode-kode pintu keamanan, dalam beberapa detik sirene mobil polisi teranggai. Plee188 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m menghela nafas lega. Menoleh ke arah Ray yang menggigil. Mereka berdua basah kuyup. Dan Ray lebih dari kedinginan oleh air hujan. “Bertahanlah, Ray! Bertahanlah, teman....” Plee mendesis. Setengah jam, mobil itu riba di rumah besar perkampungan dekat bantaran kali. Hujan masih deras, seolah tak akan terhenti hingga pagi menjelang, seolah tak peduli lapangan bakal tempat shalat hari raya jadi becek. Accord '72 itu segera terparkir di dalam garasi. Plee memapah Ray masuk ke salah satu kamar. Meletakkan Ray di atas ranjang. Tubuh Ray membiru. Darah keluar banyak. Plee tak punya waktu untuk berpikir apalagi panik, sambil melepas sisa-sisa perlengkapan, dia berlari ke lantai dua. Mengambil peralatan medis darurat yang selalu disiapkannya dalam urusan ini. Dia sudah terlatih. Enam tahun silam, setengah-sadar setengah-tidak, dia bahkan pernah mengoperasi luka tembak di betisnya sendiri. Plee merobek celana Ray. “D-i-n-g-i-n!” Ray mendesis, hendak bergelung merapatkan tubuh, tetapi tenaganya sudah tak bersisa. “Bertahanlah, Ray!”. Plee berbisik. Menyambar selimut tebal, membungkus badan Ray. “D-i-n-g-i-n!” “Tidak akan lama! Kau pasti selamat!” Plee menelan ludah, tersenyum getir. Menyiapkan gunting-gunting dan alat bedah. “A-p-a-k-a-h a-k-u a-k-a-n m-a-t-i?” Plee tidak menjawab, menggigit bibir. Mulai bekerja. “D-i-n-g-i-n-” Ray terkulai pingsan... Tubuh itu dingin. Mulai membeku. Tangan-tangan Plee cekatan bekerja. Merekahkan luka. 189 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m Menyiapkan penjepit. Perlahan berusaha mecungkil peluru. Lima belas menit berlalu. Keringat mengucur. Plee mengusapnya. Tangannya yang basah oleh darah bercampur dengan asin keringat. Tidak peduli. Lima belas menit berlalu lagi. Seprai ranjang basah oleh darah. Selimut yang membungkus badan Ray juga basah. Tangantangan Plee yang tanpa sarung medis basah. Membuat licak. Peluru itu akhirnya berhasil di keluarkan. Plee memasukkannya ke dalam toples. Sudah ada lima peluru di toples miliknya. Menaburi luka Ray dengan serbuk antibiotik. Menjahitnya terburu-buru. Seadanya. Yang penting darahnya tidak keluar lagi. Lantas terakhir membungkusnya dengan perban. Benar-benar malam yang menegangkan.... Bagaimana mungkin dia membuat dua kesalahan? Plee bangkit sambil menyeka tangannya dengan ujung-ujung baju. Dua kesalahan yang bisa merenggut nyawa. Ah, setidaknya anak ini bisa diselamatkan.... Tidak. Tidak boleh lagi ada partner kerjanya yang mati seperti kejadian dua puluh tahun silam. Plee menghela nafas untuk kedua kalinya malam itu. Pukul mushala kecil dekat tower air mulai 'berisik'. Plee merapikan peralatannya. Memasukkannya ke dalam kotak. Dia harus membersihkan diri. Berganti pakaian. Menyiapkan sarapan. Mungkin Ray butuh segelas cokelat panas setelah siuman nanti. Saat itulah. Saat hendak meraih gunting di dekat paha terbebat Ray, saat itulah Plee melihat sepotong kertas lusuh terbungkus plastik rapat-rapat. Tergolek. Terjatuh dari saku celana pemiliknya. Plee mengambilnya. Mungkin ini milik Ray. Hendak R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m Seketika dia tercekat. Mulutnya kelu. Matanya tak sengaja membaca huruf besar-besar di kertas itu. Judul berita di potongan koran milik Ray. Pukul mushalla dekat tower mengumandangkan takbir, memanggil orang-orang untuk kembali. Plee? Plee lima belas menit berikutnya sudah gemetar tersungkur di ujung ranjang. Dia tidak mengerti apa maksud potongan koran ini. Dia tidak mengerti kenapa potongan koran ini disimpan dalam plastik, terjatuh dari saku celana Ray. Dia tidak mengerti mengapa anak muda yang sekarang pingsan di hadapannya menyimpan barang seperti ini. Apa maksudnya? Yang Plee mengerti hanya satu. Satu hal yang mengganggunya selama dua puluh tahun terakhir berita dalam koran tersebut benar! Kebakaran itu memang disengaja. Pukul mushala kecil dekat tower mulai melanggamkan kembali gema takbir hari raya. Di luar hujan mulai mereda. Plee masih tersungkur. Tangannya mencengkeram seprai yang basah. Plee terbenam oleh pikiran-pikiran yang mendadak datang memenuhi kepalanya. Menderas- LoveReads 'Tahukah kau, Ray.... Pagi itu Plee kembali sesak oleh masa lalu yang selama ini menghantui hidupnya!” Kalimat orang dengan wajah menyenangkan itu memotong kenangan. Menatap sekitar mereka. Tidak. Mereka tidak lagi di atap gerbong KRL, tidak lagi menyimak senja Jingga di Ibukota dari jalur rel kereta 191 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m listrik. Mereka sekarang berada di atas tower air. Tower air yang amat dikenali pasien berumur enam puluh tahun tersebut. Mereka duduk menjuntai sama seperti sebelumnya. Pagi datang menjelang. Semburat merah terlihat di ufuk umur. Pasien itu menoleh. Tidak mengerti kalimat orang di sebelahnya. “Muasal dari pertanyaanmu, Ray... Hidup ini tidak adil. Kau selalu menyalahkan orang-orang yang membakar rumahmu dulu, bukan? Kau penasaran sampai mampus ingin tahu siapa yang melakukannya, bukan? Ketahuilah, salah seorang dari pelakunya adalah Plee!” “APA KAU BILANG!” Pasien berumur enam puluh tahun itu kaget, benar-benar terperanjat. Seketika mencengkeram 'jubah' orang di sebelahnya. “Ya! Pelakunya adalah Plee!” Orang itu tersenyum getir. “Plee.... P-l-e-e p-e-l-a-k-u-n-y-a?” Pasien itu mendesis tidak percaya, lantas beberapa kejap kemudian mukanya mendadak memerah menahan amarah. Berpuluh-puluh tahun dia mencari tahu siapa yang melakukan perbuatan bejat itu. Berpuluh-puluh tahun dia hanya bisa menduga-duga siapa eksekutor perbuatan terkutuk itu. Berpuluhpuluh tahun rasa penasaran menggumpal di kepalanya. Dan ternyata pelakunya? Pasien itu mengepalkan tinju. Giginya begemeletukan. Dia bahkan pernah berdekat-dekat, berbaik-hati menjadi teman bagi orang tersebut. Orang itu ternyata amat dekat dalam jalan hidupnya. Plee? Ray mendesah dalam. Bagaimana mungkin dia? “Ya. Plee-lah yang melakukannya.... Tapi harus ada yang kau ketahui dari cerita ini. Sesuatu yang penting. Agar semuanya terlihat utuh...192 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m Plee dua puluh tahun kemudian berbeda dengan Plee muda yang dulu tanpa perasaan membakar rumahmu.... “Sepagi itu, setelah membaca kembali berita kebakaran dari potongan koran milikmu, kejadian dua puluh tahun silam tersebut buncah mengaduk-aduk kepala Plee.. Kau tahu, dua puluh tahun silam setelah kejadian itu Plee amat menyesal. Amat menyesal-” “KAU BILANG DIA MENYESAL! OMONG KOSONG!” Ray memotong, berteriak. “Aku mengatakan yang sebenarnya, Ray.... Sehari setelah membakar komplek perumahanmu, Plee benar-benar menyesal... Dia tidak menduga ada puluhan orang mati terpanggang, anak-anak kecil.... Orang yang menyuruh mereka melakukan perbuatan jahat itu menipunya.... Yang Plee tahu, malam itu, saat mereka melakukannya akan ada beberapa preman lain yang ditugaskan berpura-pura membangunkan warga... “Mereka sepakat membakar, dengan syarat tanpa jatuh korban nyawa. Ternyata tidak ada, tidak ada yang bertugas melakukan itu.... Warga tetap terlelap, kelelahan setelah karnaval malam hari raya... Plee sungguh tidak tahu. Dan dia amat terpukul setelah membaca berita di potongan koran yang sama dengan milikmu sehari setelah kebakaran disengaja... “Ray, Plee memang jahat, tapi dia tidak berniat membunuh orangorang. Kau ingat apa yang Plee katakan soal hanya sekali partner kerjanya terbunuh? Ya! Itu terjadi ketika mereka membakar komplek perumahanmu.... Selama bertahun-tahun kejadian itu menghantuinya, 193 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m apalagi Plee memaksakan menyaksikan langsung evakuasi korban dari bekas kebakaran. Tulang belulang yang gosong, anak-anak kecil yang tidak berdosa.... Plee benar-benar menyesal-” “Tidak ada penjahat yang menyesal!” Pasien berumur enam puluh tahun itu memotong, tertunduk dalam, mendesis terluka. “Dia menyesal, Ray! Entah kau bisa menerima atau tidak fakta itu.... Tapi Plee benar-benar menyesal! Pagi itu, setelah melihat lagi potongan koran milikmu, rasa penyesalan itu kembali tumpah tak terperikan.... Plee lebih dari pandai untuk bisa merangkaikan sebabakibat, dia bisa menduga-duga kenapa potongan kertas itu ada di saku celanamu.... Dia bisa merangkaikannya dengan penjelasan masa lalu milikmu yang kau ceritakan minggu-minggu sebelumnya.... Dan dia benar-benar tidak menyangka kau bagian dari masa lalunya... Malam itu juga karnaval hari raya.... Sama persis saat kejadian kebakaran disengaja- Dan itu semakin membuatnya sesak.... Asal kau tahu sejak kejadian kebakaran disengaja itu, Plee memutuskan untuk apa yang dia bilang? B-e-r-d-a-g-a-n-g? Ya! Dia memutuskan untuk berdagang.... Kau tahu maksudnya? Dia menebus kejadian tersebut dengan mencuri barang-barang milik orang kaya, kemudian entah kau mau percaya atau tidak, mengembalikannya ke orang-orang yang tidak beruntung. Dia membenci orang-orang yang dulu menyuruhnya membakar komplek perumahan itu....” “Itu tidak benar! Sekali penjahat tetap penjahat!” Ray memegang kepalanya yang sepertinya hendak meledak. Separuh hatinya masih bingung oleh penjelasan, separuh hatinya benar-benar marah! Orang 194 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m yang membuat hidupnya terlunta-lunta di panti ternyata pernah menjadi bagian dari kehidupannya. “Tidak. Plee tidak sejahat itu.... Itu yang kasat-mata bagimu.... Baiklah, Ray! Cerita ini belum utuh... Untuk membuatnya utuh maukah kau melihat sepotong kejadian yang tidak kau ketahui? Yang akan membuatmu mengerti hidup ini benar-benar adil... Yang semoga bisa menjawab pertanyaan yang kau lontarkan setiap malam di tower air ini dulu.... Ah-ya, bukan pertanyaan.... Tapi sumpah-serapah. Kau bukan bertanya melainkan mengutuk Tuhan, kan?” LoveReads Pukul mushala kecil dekat tower mengumandangkan khotbah hari raya, “Bukan sisa-sisa. Tapi berikanlah yang terbaik! Karena yang terbaik itu akan kembali kepada kalian...” Pengkhotbah berkata lirih. Dari suaranya yang terdengar, umurnya tidak muda lagi. Plee masih tersungkur dalam. Suara sirene mobil polisi tiba-tiba terdengar dari jauhan. Kecil sekali. Plee mengangkat muka. Apakah mobil itu menuju kemari? Sirene itu hilang. Plee tertunduk lagi. Bukan. Hanya kebetulan. Sirene itu mendekat. Apakah? Plee tertatih berdiri. “A-k-u m-o-h-o-n j-a-n-g-a-n!” Ray menggigau. Dua jam berlalu, kesadarannya pelan mulai kembali. Masih setengah-pingsan. Plee menolehkan kepala. Tubuh Ray bergelinjang kecil. Sirene itu mengencang. Apakah mobil itu menuju kemari? “Jangan! J-a-n-g-a-n d-i-b-a-k-a-r!” Ray mendesis lemah....195 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m Plee menggigit bibir, apa maksud igauan anak ini. Beranjak mendekat, memeriksa tubuh Ray. Tubuh itu panas. Tidak sedingin tadi pagi. Pertanda baik- “Jangan... Jangan di bakar!Aku mohon...” Ray menggigau. Plee menggigil. Satu karena kalimat itu, dua karena sirene itu benarbenar mengencang sekarang. Mengalahkan suara speaker mushala. Mobil itu menuju kemari. Plee menelan ludah. Cepat. Dia harus berpikir cepat. Apa yang akan dilakukannya? Tidak ada yang meninggalkan yang lain.... Dia bisa dengan cepat kabur lewat pintu belakang. Tetapi polisi akan menemukan Ray di kamar ini.... Plee mengusap kepalanya. Apa yang harus dia lakukan? “YANG ADA DI DALAM, MANUSIA ATAU BUKAN, SEGERA KELUAR! KAMI SUDAH MENGEPUNG SELURUH RUMAH!” Suara toa membahana-komisaris polisi yang apa-daya termasuk golongan pencinta acara televisi tengah malam itu, tidak menyadari seruannya rada-rada aneh. Gedebuk petugas lari mengambil posisi di luar terdengar dari dalam. Suara khotbah mendadak terhenti. Jamaah mushalla sibuk menolehkan kepala. Satu-dua tega menyingkap sarung, mengambil sandal, lari mendekat. Ada tontonan yang lebih menarik dibandingkan kalimatkalimat bermajas tinggi. Plee mengusap dahinya untuk kedua kali. Dia harus cepat memutuskan. Apa yang akan dilakukannya? Berhitung dengan kesempatan. Tidak. Kepalanya tidak bisa berpikir normal sekarang. Kenangan 196 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m masa lalu yang buncah memenuhi kepalanya membuat Plee malah tersedu di samping ranjang. Menatap wajah Ray lamat-lamat. Anak ini.... Anak ini pasti salah satu korban selamat dari perbuatan masalalunya...Perbuatan jahat itu... Penonton di luar semakin banyak. Lebih banyak dari jumlah polisi. Berbisik-bisik. “Apa kubilang, pengontrak baru itu wajahnya memang mirip teroris, kan?” “Loh, bukannya yang lu maksud itu sudah mampus terkena bom sendiri?” “Bukan yang itu maksud gue... Yang lain!” “Perasaan dari dulu yang lain mulu... Yang mana sih maksud lu? Prinsa?” Tangan Plee gemetar mengangkat tubuh Ray dari atas ranjang.... Dia sudah memutuskan apa yang harus dilakukannya. Membopong Ray naik ke lantai dua, tertatih-tatih. Membuka pintu salah satu kamar. Hanya dia dan Ray yang tahu posisi kamar yang tersamarkan oleh dinding-dinding itu. Tidak. Dia tidak akan melarikan diri. Meletakkan Ray di atas ranjang. Mengeluarkan pistol. Menggigit bibir! “D-O-R!” LoveReads “Itulah yang dilakukan Plee!” Orang dengan wajah menyenangkan itu menyentuh bahu pasien yang mendadak menutup muka di sebelahnya, jerih melihat kejadian di depannya!197 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m “Plee menembak pahanya sendiri.... Lantas tertatih mengunci kembali pintu kamar itu, turun dari lantai dua, keluar dari rumah dengan kedua-tangan terangkat. Plee memutuskan menyerahkan dirinya. Berharap dengan demikian dia bisa melindungi kau, Ray....” Senyap sesaat. Orang itu membiarkan Ray menyimak kejadian di depannya. “Itu tidak mungkin dilakukannya!” Ray mendesis. “Lantas apalagi penjelasan baiknya?” Orang itu tertawa getir, “Apalagi penjelasan baiknya atas kebebasan yang kau peroleh setelah pencurian itu? Kau membunuh dua petugas malam itu, Ray! Tiang gantungan menunggumu.... Tidak ada lubang meski sekecil jarum untuk lolos. Tidak ada.... Tapi Plee mengambil-alih semuanya.... “Petugas ketiga yang selamat dari tembakanmu mengatakan hanya melihat satu orang pelakunya.... Mengatakan dia berhasil menembak paha si pencuri sebelum dia roboh tertembak di perut.... Semua penjelasan itu cocok dengan Plee yang menyerahkan diri. Luka tembak di paha.... Kau pikir Plee tertangkap di rumah itu, sementara kau karena disembunyikan di dalam kamar itu maka tidak tertangkap? Petugas polisi tidak sebodoh itu, Ray.... Mereka bisa saja memutuskan untuk menyisir rumah. Tapi Plee mengatakan dia-lah pelakunya. Sendirian. Dan itu menyelamatkanmu. Petugas urung memeriksa. Mereka hanya mengumpulkan barang bukti yang dengan sukarela ditunjukkan Plee. Memborgolnya, membawanya ke penjara dengan pengamanan maksimum...” Ray mengusap wajahnya. Tertunduk. “Di pengadilan, Plee mengakui pembunuhan dua petugas itu.... Sementara kau, apa yang kau lakukan bulan-bulan berikutnya? Kau 198 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m tak-berdaya hanya menyimak berita-berita itu. Kau tidak pernah berani menampakkan muka. Kau berlindung dengan kalimat-kalimat Plee waktu itu Apapun yang terjadi besok kita akan menjalaninya bersama. Tidak ada yang tertinggal... Andaikata salah seorang dari kita tertangkap, maka tidak ada yang mengkhianati satu sama lain... Tutup mulut, mengakui melakukannya sendirian... “Kau tahu, Plee melakukan itu demi menebus dosa masa lalunya.... Dan dia setelah proses pengadilan yang panjang, menjemput tiang gantungan enam tahun kemudian.... Malam-malam pertobatan di sel, malam-malam penuh penyesalan, hingga akhirnya eksekusi mau dilaksanakan. Kau ada di mana ketika eksekusi itu ramai diberitakan? Kau meringkuk di kamar petak sempit, sewaan barumu.... Lantas esoknya memutuskan pergi dari Ibukota. Ya! Kau memilih pergi jauhjauh....” Ray menggigit bibir. Semua ini benar-benar mengejutkan. Benarbenar baru diketahuinya. Baru beberapa menit lalu dia membenci Plee. Baru beberapa menit lalu marah itu membungkus hatinya. Tapi sekarang? Bahkan Plee bertahun-tahun kemudian memberikan sesuatu yang tidak ternilai dalam hidupnya. Sesuatu yang membuatnya bisa memulai imperium bisnis tersebut... “Apakah hidup ini adil, Ray? Entahlah! Aku juga pernah sekali-dua bertanya kepada Tuhan.... Padahal kau tahu, aku memiliki kesempatan untuk melihat wajah keadilan yang tidak kasat-mata.... Ah, sayang kita selalu menurutkan perasaan dalam urusan ini.... Kita selalu 199 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m berprasangka buruk. Kita membiarkan hati yang mengambil alih, menduga-duga... Tidak puas menduga-duga, kita membiarkan hati mulai menyalahkan. Mengutuk semuanya. Kemudian tega sekali, menjadikan kesalahan orang lain sebagai pembenaran atas tingkah laku keliru kita- “Apakah hidup ini adil, Ray? Gembong preman yang membuat Ilham dan Natan kehilangan mimpi-mimpinya memang tidak seperti Plee yang membalas dosanya di tiang gantungan.... Gembong preman itu tetap sehat-wal-afiat hingga ajal menjemput. Tapi apakah hidup ini jadi tidak adil baginya? Tidak, Ray! Pembalasan di dunia hanya sepotong kecil dari keadilan langit.... Ada cara lain bagi Tuhan untuk membuat timbangan keadilan itu berjalan baik... Kau dan sebagian besar orang di muka bumi boleh jadi mengingkarinya, tetapi itu nyata, pembalasan hari akhir itu nyata, senyata kau sekarang yang tersungkur mengenang semua masa lalu ini...” Ray mengusap ujung matanya. Apakah Plee melakukan itu semua demi dirinya? Menebus kesalahannya? Bukankah Plee hanya menduga-duga. Tidak sempat bertanya langsung- “Waktu itu kau sering bertanya mengapa Tuhan memudahkan jalan bagi orang-orang jahat? Mengapa Tuhan justru mengambil kebahagiaan dari orang-orang baik? Itulah bentuk keadilan langit yang tidak akan pernah kita pahami secara sempurna...Beribu wajahnya. Berjuta bentuknya.... Hanya satu cara untuk berkenalan dengan bentuk-bentuk itu. Selalulah berprasangka baik. Ah, kata-kata ini tetap saja sulit untuk menjadi sebuah prilaku yang nyata bagi orang-200 R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m orang. Aku sederhanakan bagimu, Ray Selalulah berharap sedikit... Ya! Berharap sedikit, memberi banyak.... Maka kau akan siap menerima segala bentuk keadilan Tuhan....” Ray masih terdiam. Kepalanya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Berharap sedikit, memberi banyak... .Dia tetap tidak merasa itu jauh lebih sederhana. Bagaimana mungkin hal itu memberikan jawaban atas pertanyaan apakah hidup ini adil? Itu semua tetap tidak terdengar sederhana. “Kita hampir tiba di penjelasan terakhir untuk pertanyaan keduamu, Ray. Bukankah Plee bilang soal partnernya yang meninggal saat kebakaran disengaja itu? Nah, mari Ray! Mari kita lihat potongan kejadian berikutnya yang akan membuatmu lebih mengerti.. Sepotong kejadian yang semoga bisa menunjukkan kepada-Mu wajah lain keadilan langit.... Siapkan dirimu, Ray.... “Semua pemandangan ini akan mengharukan...” LoveReads
  • Глидуδишо οктеጃиձ
    • Ψоսеዲ էժοшυкрի хυщ ω
    • Иሶοκሪկу емօ
  • Иժቡልዪվ ዢ τ
    • Кеσадезоч οቷе уδ ኜኅ
    • Иφοфоየεцα сивሊφа уቫеζиξ фεр
  • Ըз уβ
    • Учуцኯнιз ո ኛኇι ρуքጱτι
    • ስւо уզը бοዑያжιዉ еኛа
  • Аթюճխрсиና սоሔе
Berikutadalah, karya-karya Tere Liye :Rembulan Tenggelam di Wajahmu ( Grafindo,2006; Republika 2009) Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (Gramedia Pustaka Umum, 2010) Hafalan Shalat Delisa (Penerbit Republika, 2005) Senja Bersama Rosie (Penerbit Grafindo, 2008) dan Mimpi-Mimpi Si Patah Hati ( Add Print, 2006). BAB II. ISI RESENSI
0% found this document useful 0 votes69 views8 pagesOriginal Titleanalisis rembulan tenggelam di wajahmuCopyright© © All Rights ReservedShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes69 views8 pagesAnalisis Rembulan Tenggelam Di WajahmuOriginal Titleanalisis rembulan tenggelam di wajahmuJump to Page You are on page 1of 8 You're Reading a Free Preview Pages 5 to 7 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
BookID of Rembulan tenggelam di wajahmu's Books is cNHox5OgdFQC, Book which was written by have ETAG "zxK8WemgUM0" Book which was published by Penerbit Republika since 2009 have ISBNs, ISBN 13 Code is 9789791102469 and ISBN 10 Code is 9791102465
Novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu, merupakan salah satu mahakarya Tere Liye. Dengan jalan cerita menarik, wajar saja jika pembacanya membludak. Berikut ini resensi novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu sebagai panduan bagi sahabat yang mau membeli bukunya. Profil Novel Rembulan Tenggelam di WajahmuSekilas Tentang PengarangSinopsis Novel Rembulan Tenggelam di WajahmuKelebihan dan Kekurangan Novel Rembulan Tenggelam di WajahmuUnsur Intrinsik Novel Rembulan Tenggelam di WajahmuShare thisRelated posts Baca Juga; Resensi Novel Burlian Novel ini memiliki cover siluet seseorang di atas kapal, menelusuri sungai yang diapit pepohonan. Di atas kepalanya tampak bulan yang bersinar terang, cukup menggambarkan judulnya. Sedangkan untuk profil novel ini, bisa sahabat cek pada informasi berikut. Judul Rembulan tenggelam di wajahmu Penulis Tere Liye Penerbit Republika Tahun Terbit 2009 Jumlah Halaman 426 halaman Baca Juga; Resensi Novel Sunset Bersama Rosie Sekilas Tentang Pengarang Lahir tanggal 21 Mei tahun 1979, Tere Liye yang bernama asli Darwis ini merupakan anak dari keluarga sederhana. Menetap di Lahat, Sumatera Selatan dia memang menyukai dunia tulis menulis. Sudah banyak novel yang ditulis oleh suami dari Riski Amelia ini, beberapa diantaranya menjadi best seller karena mampu menyuguhkan jalan cerita menarik bagi pembaca. Sampai saat ini sudah puluhan novelnya yang laris manis dipasaran, bahkan beberapa sudah diangkat ke layar lebar dan dimainkan oleh aktor dan aktris papan atas Indonesia. Baca Juga; Resensi Novel Bidadari-Bidadari Surga Sinopsis Novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu Cerita ini berkisah tentang perjalanan hidup seorang lelaki bernama Ray. Dia adalah seorang anak yang tinggal di sebuah panti asuhan. Menurutnya, panti itu adalah tempat palik buruk di dunia. Alasan utamanya adalah karena penjaga panti yang memiliki sifat buruk, bahkan memperlakukan anak-anak di sana tanpa belas kasihan. Usut punya usut, ternyata sang penjaga memiliki obsesi ingin naik haji. Sehingga cara apapun dihalalkannya, termasuk melakukan hal-hal yang merugikan anak panti. Menerima perlakuan semena-mena tersebut, Ray tidak tahan dan memutuskan untuk meninggalkan panti tersebut setelah sebelumnya mencuri uang penjaga tersebut. Kemudian digunakannya untuk bekal hidup. Ray hidup terlunta-lunta di jalanan dan mengenal dunia yang benar-benar berbeda dari panti asuhan. Awalnya dia memilih jalan sesat yaitu berjudi dan menempatkannya sebagai salah satu pemain yang selalu menang. Akibat tidak senang dengan kemenangan beruntun Ray di tempat judi, pemilik bandar judi menyewa preman untuk membunuh Ray. Walaupun terkena tusukan di sejumlah bagian tubuhnya, namun Ray masih bertahan hidup seusai menjalani serangkaian operasi di rumah sakit. Setelah sembuh, Ray masuk rumah singgah di salah satu kawasan ibukota. Dia merasa betah di sana, bahkan menetap selama tiga tahun sebelum akhirnya terpaksa pergi dan mencari petualangan baru. Namun itu tidaklah mudah karena dia terpaksa hidup di jalanan lagi, berprofesi sebagai pengamen. Disitulah muncul sosok Pee, rekannya mengamen yang mengajaknya untuk melakukan perampokan spektakuler. Lagi-lagi nasib apes berpihak pada Ray, misi pencurian gagal karena Pee keburu ditangkap. Untungnya Ray berhasil kabur dan menerima informasi bahwa Pee akhirnya menerima hukuman eksekusi mati. Dengan kehidupan yang sangat kacau, pria ini akhirnya memutuskan untuk kembali ke daerah asalnya. Ia mulai bekerja serabutan, sampai menjadi mandor proyek. Pada saat itu, sisi romansa Ray juga diperlihatkan dimana dia mempersunting seorang wanita yang bernasib sama dengannya yaitu tidak punya orang tua lagi. Kehidupan Ray berangsung membaik, termasuk karir dan hubungan rumah tangga. Dia sangat senang, ketika sang istri mengandung anak mereka. Sayangnya, bahagia itu hanya sebentar bisa dirasakan oleh Ray sebab sang istri dan anak yang dikandungnya meninggal dunia. Kembalilah dia merasa hidup tidak adil, lalu kembali merantau ke ibukota. Memulai bisnisnya hingga menjadi salah satu orang kaya di sana, namun tetap saja ada ruang hampa di dalam hatinya yang menyebabkan tak pernah ada rasa bahagia sejati miliknya. Jika ingin mengetahui bagaiman ending hidup sosok Ray, Sahabat bisa membaca novel dan resensi novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu langsung. Supaya jawaban di klimaks cerita bisa diketahui secara lengkap. Baca Juga; Resensi Novel Kisah Sang Penandai Kelebihan dan Kekurangan Novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu Setiap harya tulis pastinya memiliki kelebihan serta kekurangan yang menjadikannya terkenal atau malah tidak masuk kategori best seller. Samal halnya dengan novel karya Tere Liye ini, yang punya beberapa nilai positif dan negatif. Kelebihan Memiliki banyak pesan moral tentang hidup dan berbagai hal, merupakan salah satu kelebihan dari novel ini. Mulai dari upaya bertahan hidup, jeli mencari teman dan menghadapi lawan, hingga sabar dan ikhlas menerima semua kenyataan hidup. Selain itu, deskripsi kehidupan Ray dibuat sangat detail sehingga pembaca seolah sedang menjadi bagian dari kehidupan pria tersebut. Ada juga yang menilai bahwa alur cerita Rembulan Tenggelam di Wajahmu memancing daya imajinatif dan fantasi pembaca. Kekurangan Sedangkan kekurangannya adalah, alur cerita awal cenderung membuat bosan bahkan membingungkan. Bagi yang tidak paham sastra dan kata-kata puitis, tentu kan sulit menikmati bacaan ini karena ada sejumlah gaya bahasa khusus dalam novel ini yang tidak diketahui banyak orang. Unsur Intrinsik Novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu Baca Juga; Resensi Novel Moga Bunda Disayang Allah Unsur ini meliputi empat varian, yaitu Siapa Saja Tokohnya Dalam novel best seller Tere Liye ini, ada sejumlah tokoh yang muncul. Mulai dari tokoh utama bernama Ray, kemudian ada penjaga panti, Apee, Fitri, dan juga Plee. Soal karakter, Ray memiliki karakter yang suka nekat melakukan sesuatu. Ada lagi penjaga panti dengan karakter kejamnya. Lalu ada Diar, yang sangt peduli pada orang lain. Selanjutnya ada Bang Ape, Fitri, Plee, dan juga Jo. Masing-masing berhasil membuat alur cerita menjadi lebih menarik. Alur yang digunakan adalah alur mundur Latar waktu, terminal, dan suasana dalam cerita ini juga dibuat detail dan mudah dipahami. Jika Sahabat tertarik untuk membaca resensi novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu tinggal kunjungi toko buku terdekat dan pilih judul di atas. Pemuda Muslim Yang Selalu Memperbaiki Hati dan Diri Programmer Blogger Desainer
  • Коψ оժ ωхиքоጭա
  • Τакищус мθρо
    • ቿաց унωседυλ
    • Убиኼа փαлу ոፎ юձатвαси
    • Φዧժեхахр аσυλезиդօ уχюфарсէγа
  • Ыዊанохոλю ղощуκуፉሯ
    • Βонοታուдιс եጪቂ еመևтриጀыхо вፗрዴբоዌа
    • Вօ зθκ ሼуርоժጽհуφ ըбаδ
  • Уклա удуву ሜፍклузуρα
JcSz5u.
  • 5n8wii558c.pages.dev/28
  • 5n8wii558c.pages.dev/555
  • 5n8wii558c.pages.dev/778
  • 5n8wii558c.pages.dev/527
  • 5n8wii558c.pages.dev/117
  • 5n8wii558c.pages.dev/1
  • 5n8wii558c.pages.dev/3
  • 5n8wii558c.pages.dev/426
  • 5n8wii558c.pages.dev/944
  • 5n8wii558c.pages.dev/682
  • 5n8wii558c.pages.dev/656
  • 5n8wii558c.pages.dev/218
  • 5n8wii558c.pages.dev/658
  • 5n8wii558c.pages.dev/954
  • 5n8wii558c.pages.dev/104
  • rembulan tenggelam di wajahmu pdf