Dalampuisi "Mantera" karya Sutardji Calzoum Bachri, penulis menghadirkan serangkaian gambaran dan simbol-simbol yang memadukan alam dan perasaan manusia. Puisi ini menggambarkan rangkaian kata-kata yang memiliki kekuatan magis, mengundang pembaca untuk meresapi makna yang tersembunyi di dalamnya. Puisi ini dimulai dengan penggambaran lima Tanah Air MataOleh Sutardji Calzoum BachriTanah airmata tanah tumpah dukakumata air airmata kamiairmata tanah air kamidi sinilah kami berdirimenyanyikan airmata kamidi balik gembur subur tanahmukami simpan perih kamidi balik etalase megah gedung-gedungmukami coba sembunyikan derita kamikami coba simpan nestapakami coba kuburkan duka laratapi perih tak bisa sembunyiia merebak kemana-manabumi memang tak sebatas pandangdan udara luas menunggunamun kalian takkan bisa menyingkirke manapun melangkahkalian pijak airmata kamike manapun terbangkalian kan hinggap di air mata kamike manapun berlayarkalian arungi airmata kamikalian sudah terkepungtakkan bisa mengelaktakkan bisa ke mana pergimenyerahlah pada kedalaman air mata1991Puisi Tanah Air Mata (Karya Sutardji Calzoum Bachri) Puisi: Nisan (Karya Chairil Anwar) Puisi: Aku Ingin (Karya Sapardi Djoko Damono) Puisi: Menyesal (Karya Ali Hasjmy) Puisi: Interlude Perjalanan (Karya Wayan Jengki Sunarta) Puisi: Ibu (Karya Chairil Anwar) Puisi: Negeri Gagap (Karya Bambang Widiatmoko)Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Analisis Intertekstual Puisi "Tapi" Karya Sutardji Calzoum Bachri dengan Puisi "Gumamku, ya Alloh" Karya RendraAlfi Lutfiana ZahroiniK1220008Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra IndonesiaPENDAHULUANPuisi sebagai salah satu karya sastra yang dalam penyampaiannya menggunakan bahasa sebagai media perantara komunikasi menjadi sesuatu yang penting untuk ditelaah isi dan kemunculan puisi. Puisi sebagai salahsatu alat atau media yang merekam berbagai aktivitas hidup dan kehidupan memiliki peran yang berarti dalam khasanah kesastraan. Peristiwaperistiwa yang dianggap penting dalam kehidupan dapat diungkapkan oleh penyair maupun penulis melalui pemilihan puisi sebagai sarana menulis. Kebebasan dalam menulis puisi tanpa dihalang-halangi oleh penggunaan syarat dalam menulis puisi merupakan langkah untuk memberikan kebebasan bereskpresi kepada para penulis. Puisi sebagai media yang digunakan untuk menyampaikan perantara pesan kepada pembaca merupakan cara pandang penulis tentang gejala-gejala yang ditangkap penulis sehingga penting untuk direkam dalam bahasa puisi. Waluyo dalam Wisang, 2014 12 menjelaskan puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias imajinatif. Imron dalam Aminuddin, 1990 142 puisi memang bisa juga sebagai konfirmasi terhadap kenyataan sosial. Kalau ia hanya menggambarkan gejala sosial itu tanpa sikap, menurut Kuntowidjaja dapat disebut sebagai sastra simtomatik karena tugasnya hanya menggambarkan saja. Selain itu, puisi bisa juga menjadi kritik sosial, ia akan mencoba menganalisis gejala-gejala sosial dengan mempertentangkan sistem simbol dan juga sistem sosial. maka muncullah sastra dialetik. Pemilihan kata, bahasa, dan makna dalam puisi merupakan salah satu penekanan menulis puisi yang selama ini masih terjadi di kalangan penyair. Melalui pemilihan kata, bahasa yang sesuai dengan pemilihan maka akan terbentuk kepadatan dalam makna puisi. Namun hal ini menjadi salahsatu kebiasaan yang terjadi ketika penyair membuat puisi yaitu dilakukan "seleksi kata" terhadap bahasa yang digunakan dalam menulis puisi. Bahasa yang biasanya digunakan dan dipahami oleh oranglain "bahasa sederhana", serta tidak adanya penggunaan bahasa yang "mendayu-dayu", ibarat sulit dipahami oleh orang lain merupakan salah satu langkah untuk memberikan puisi yang mudah dipahami oleh orang lain. Era sekarang ini yaitu semua tulisan menggunakan media internet atau teknologi digital menjadi salah satu cara mudah dalam berkarya. Sastra cyber misalnya yang menjadi salah satu media perantara berkarya setiap orang, kini penulis dengan mudah menghasilkan serta mempublikasikan karyanya tanpa terlebih dahulu melewati editor maupun penyunting. Namun, sering khalayak umum memberikan penilaian kepada karya yang ada di media massa tersebut "belum handal" dan diuji secara utuh karya mereka. Hal ini dikarenakan setiap orang dapat mempublikasikan karya mereka dengan mudah. Puisi pada khususnya terdapat diberbagai media massa baik media online maupun ofline. Adanya berbagai media yang dapat memuat karya sastra khususnya puisi sebagai salahsatu jenis karya sastra yang dapat dijadikan sebagai langkah dalam menuangkan karya sastra. Penyair-penyair seperti Sutardji Calzoum Bachri, Remy Sylado, Darmanto Jatman merupakan para penyair yang menuliskan puisinya melalui langkah membebaskan diri dari syarat penulisan puisi. Puisi tidak lagi menjadi hal yang "sangat rumit" yaitu harus menggunakan bahasa yang indah, bahasa yang bermajas, serta pemilihan kata yang benar-benar dipilih untuk mewakili isi puisi. Namun puisi yang dimaksud yaitu puisi yang didalamnya mengunakan bahasa sehari-hari, yang mudah dipahami oleh pembaca. Cara pandang seperti inilah yang menjadikan puisi menjadi bebas untuk dituliskan oleh siapa saja dengan bahasa yang mudah digunakan dan disampaikan dengan leluasa. Asal-usul setiap kemunculan puisi merupakan dasar mengetahui topik, tema, dan isi yang terdapat dalam puisi. Teks yang terdapat dalam puisi tidak bisa lepas dari konteks atau hal-hal yang ada di luar kemunculan puisi, sehingga menjadi penting untuk diketahui keadaan yang melingkupi permasalahan kemunculan puisi itu sendiri. Pradopo 2009 49 mengungkapkan dengan terbitnya sajak-sajak angkatan lama yang "established" dan penyair baru yang memperkenalkan gaya baru, maka dalam periode 1970-1990 ini ada bermacam ragam puisi. Para penyair baru yang muncul akhir tahun 1960-an dan sesudah tahun 1970 adalah Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Abdul Hadi Wm, Tuti Herati, Kuntowijoyo, Sides Sudiyarto, Linus Suryadi Ag., Emha Ainun Nadjib, Yudhistira Ardi Nugroho, F. Rahadi, Adri Darmadji Woko, Korrie Layun Rampan, Dami N. Jabbar, D. Zawawi Imron, Eko Budianto, Diah Hadaning, Afrizal Malna, Soni Farid Maulana, dan Acep Zamzam Noor, serta Beni Setia. Di samping mereka, masih banyak yang lain, puluhan, bahkan ratusan. Penelitian yang dilakukan oleh Sulaiman 2005 dengan judul "Dimensi Sufistik Puisi-Puisi Sutardji Calzoum Bachri". Metode atau pendekatan yang digunakan adalah metode atau pendekatan filosofis dan semiotik. Penanda utama puisi "Idul fitri" adalah tobat, sedangkan penanda utama puisi "Cermin" adalah "bercermin" dalam pengertian tafakkur dan muhasabah, melakukan perenungan dan introspeksi. Penggunaan kata-kata secara denotatid dan konotatif, metaphor, deviasi gramatikal, paralelisme, repetisi, dan inversi dalam puisi "idulfitri" dan puisi "cermin", menunjukkan fungsinya dalam mendukung penanda utama puisi -puisi tersebut. Puisi sufistik "Idulfitri" dan "Cermin" karya Sutardji Calzoum Bachri, menggambarkan seseorang yang mengangap dirinya telah mencapai maqam peringkat yang tinggi di jalan tasawuf karena merasa telah menjalani pertobatan dengan sungguh-sungguh dan tulus. Dia merasa sudah layak untuk "berjumpa" dengan Tuhan atau malaikat, karena itu dia sangat menginginkan perjumpaan tersebut. Sangat kecewa akibat gagalnya perjumpaan yang sangat dirindukannya itu, dia kemudian "bercermin", bertafakur merenung dan bermuhasabah berintrospeksi. Maka sadarlah dia, bahwa sebagai makhluk sprititual, status dirinya masih sangat rendah. Gambaran itu serupa benar dengan realitas kehidupan sehari-hari manusia. Dengan demikian, karakter tokoh puisi "idulfitri" dan puisi Cermin" merupakan tanda ikonik dari sikap keberagaman kebanyakan Calzoum Bachri merupakan salah satu pencetus puisi konkret yang kemunculannya dianggap sebagai pembaharu dalam dunia perpuisian di Indonesia. Karya-karya Sutardji lebih cenderung memberikan gaya penulisan yang berbeda dengan penyair sebelumnya. Bahasa, pemakaian kata, dan corak puisi lebih memberikan ilustrasi tentang kehidupan yang ada di sekitar masyarakat melalui langkah membebaskan kata dari pengertiannya, namun menggunakan kata sesuai fungsi kata itu sendiri. Kata dapat bermakna dan dapat mengandung logika yang berbeda-beda, namun dalam puisi karya Sutardji seperti puisi "Tragedi Winka dan Sihka", permainan kata digunakan secara baik dan dapat menimbulkan makna yang mendalam dari isi puisi yang ada. Kemunculan puisi "Tragedi Winka dan Sihka" merupakan salah satu pembeda dalam khasanah puisi modern di Indonesia saat itu. Karya-karya Sutardji secara lengkap terdapat dalam buku O AMUK KAPAK tiga Kumpulan Sajak Sutardji Calzoum Bachri Penerbit Sinar Harapan 1981. PEMBAHASANTAPIaku bawakan bunga padamu 1 2 3 4 5 6 7 Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Puisi Berdarah - Sutardji Calzoum Bachri. Posted on 27 Desember 2016 by Editor. Sutardji Calzoum Bachri. Hari ini aku berdarah. kapak hitam menakik almanakku pecahlah rabuku. mengalirlah pecahlah seninku mengalirlah pecahlah selasaku mengalirlah. pecahlah jumatku mengalirlah.
TRAGEDI WINKA & SIHKA Oleh Sutardji Calzoum Bachri kawin kawin kawin kawin kawin ka win ka win ka win ka win ka winka winka winka sihka sihka sihka sih ka sih ka sih ka sih ka sih ka sih sih sih sih sih sih ka Ku Memahami Puisi, 1995 Mursal Esten GAJAH DAN SEMUT Oleh Sutardji Calzoum Bachri tujuh gajah cemas meniti jembut serambut tujuh semut turun gunung terkekeh kekeh perjalanan kalbu 1976-1979 sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri Date Wed, 17 Nov 1999 012704 -0800 Mailing List MSI Penyair Pengirim Nanang Suryadi MANTERA Oleh Sutardji Calzoum Bachri lima percik mawar tujuh sayap merpati sesayat langit perih dicabik puncak gunung sebelas duri sepi dalam dupa rupa tiga menyan luka mengasapi duka puah! kau jadi Kau! Kasihku Memahami Puisi, 1995 Mursal Esten AYO Oleh Sutardji Calzoum Bachri Adakah yang lebih tobat dibanding air mata adakah yang lebih mengucap dibanding airmata adakah yang lebih nyata adakah yang lebih hakekat dibanding airmata adakah yang lebih lembut adakah yang lebih dahsyat dibanding airmata para pemuda yang melimpah di jalan jalan itulah airmata samudera puluhan tahun derita yang dierami ayahbunda mereka dan diemban ratusan juta mulut luka yang terpaksa mengatup diam kini airmata lantang menderam meski muka kalian takkan dapat selamat di hadapan arwah sejarah ayo masih ada sedikit saat untuk membasuh pada dalam dan luas airmata ini ayo jangan bandel jangan nekat pada hakekat jangan kalian simbahkan gas airmata pada lautan airmata malah tambah merebak jangan letupkan peluru logam akan menangis dan tenggelam dikedalaman airmata jangan gunakan pentungan mana ada hikmah mampat karena pentungan para muda yang raib nyawa karena tembakan yang pecah kepala sebab pentungan memang tak lagi mungkin jadi sarjana atau apa saia namun mereka telah nyempurnakan bakat gemilang sebagai airmata yang kini dan kelak selalu dibilang bagi perjalanan bangsa OASE Sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri Republika edisi 28 November 1999 BATU Oleh Sutardji Calzoum Bachri batu mawar batu langit batu duka batu rindu batu janun batu bisu kaukah itu teka teki yang tak menepati janji ? Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan hati takjatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh? Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampa mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai sedang lambai tak sampai. Kau tahu batu risau batu pukau batu Kau-ku batu sepi batu ngilu batu bisu kaukah itu teka teki yang tak menepati janji ? Memahami Puisi, 1995 Mursal Esten BAYANGKAN untuk Salim Said Oleh Sutardji Calzoum Bachri direguknya wiski direguk direguknya bayangkan kalau tak ada wiski di bumi sungai tak mengalir dalam aortaku katanya di luar wiski di halaman anak-anak bermain bayangkan kalau tak ada anak-anak di bumi aku kan lupa bagaimana menangis katanya direguk direguk direguknya wiski sambil mereguk tangis lalu diambilnya pistol dari laci bayangkan kalau aku tak mati mati katanya dan ditembaknya kepala sendiri bayangkan 1977 sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri Date Wed, 17 Nov 1999 012704 -0800 Mailing List MSI Penyair Pengirim Nanang Suryadi LUKA Oleh Sutardji Calzoum Bachri ha ha sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri Date Wed, 17 Nov 1999 012704 -0800 Mailing List MSI Penyair Pengirim Nanang Suryadi NGIAU Oleh Sutardji Calzoum Bachri Suatu gang panjang menuju lumpur dan terang tubuhku mengapa panjang. Seekor kucing menjinjit tikus yang menggelepar tengkuknya. Seorang perempuan dan seorang lelaki bergigitan. Yang mana kucing yang mana tikusnya? Ngiau! Ah gang yang panjang. Cobalah tentukan! Aku kenal Afrika aku kenal Eropa aku tahu Benua aku kenal jam aku tagu jentara aku kenal terbang. Tapi bila dua manusia saling gigitan menanamkan gigi-gigi sepi mereka akan ragu menetapkan yang mana suka yang mana luka yang mana hampa yang mana makna yang mana orang yang mana kera yang mana dosa yang mana surga. sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri Date Wed, 17 Nov 1999 012704 -0800 Mailing List MSI Penyair Pengirim Nanang Suryadi O Oleh Sutardji Calzoum Bachri dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O... sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri Date Wed, 17 Nov 1999 012704 -0800 Mailing List MSI Penyair Pengirim Nanang Suryadi PARA PEMINUM Oleh Sutardji Calzoum Bachri di lereng lereng para peminum mendaki gunung mabuk kadang mereka terpeleset jatuh dan mendaki lagi memetik bulan di puncak mereka oleng tapi mereka bilang -kami takkan karam dalam lautan bulan- mereka nyanyi nyanyi jatuh dan mendaki lagi di puncak gunung mabuk mereka berhasil memetik bulan mereka menyimpan bulan dan bulan menyimpan mereka di puncak semuanya diam dan tersimpan Sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri Date Wed, 17 Nov 1999 012704 -0800 Mailing List MSI Penyair Pengirim Nanang Suryadi SEPISAUPI Oleh Sutardji Calzoum Bachri sepisau luka sepisau duri sepikul dosa sepukau sepi sepisau duka serisau diri sepisau sepi sepisau nyanyi sepisaupa sepisaupi sepisapanya sepikau sepi sepisaupa sepisaupoi sepikul diri keranjang duri sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sampai pisauNya ke dalam nyanyi 1973 sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri Date Wed, 17 Nov 1999 012704 -0800 Mailing List MSI Penyair Pengirim Nanang Suryadi TANAH AIR MATA Oleh Sutardji Calzoum Bachri Tanah airmata tanah tumpah dukaku mata air airmata kami airmata tanah air kami di sinilah kami berdiri menyanyikan airmata kami di balik gembur subur tanahmu kami simpan perih kami di balik etalase megah gedung-gedungmu kami coba sembunyikan derita kami kami coba simpan nestapa kami coba kuburkan duka lara tapi perih tak bisa sembunyi ia merebak kemana-mana bumi memang tak sebatas pandang dan udara luas menunggu namun kalian takkan bisa menyingkir ke manapun melangkah kalian pijak airmata kami ke manapun terbang kalian kan hinggap di air mata kami ke manapun berlayar kalian arungi airmata kami kalian sudah terkepung takkan bisa mengelak takkan bisa ke mana pergi menyerahlah pada kedalaman air mata 1991 Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
Puisi Sajak Tangga Karya: Taufiq Ismail. Sajak Tangga Empat puluh sembilan tangga kemiskinan Hari panas Lima puluh sembilan tangga kemiskinan Puisi: Tanah Air Mata (Karya Sutardji Calzoum Bachri) Puisi: Yang Paling Menakjubkan (Karya Sapardi Djoko Damono) Puisi: Ibu (Karya Chairil Anwar)
Sutardji Calzoum Bachri TANAH AIRMATA Tanah airmata tanah tumpah dukaku mata air airmata kami airmata tanah air kami di sinilah kami berdiri menyanyikan airmata kami di balik gembur subur tanahmu kami simpan perih kami di balik etalase megah gedung-gedungmu kami coba sembunyikan derita kami kami coba simpan nestapa kami coba kuburkan duka lara tapi perih tak bisa sembunyi ia merebak kemana-mana bumi memang tak sebatas pandang dan udara luas menunggu namun kalian takkan bisa menyingkir ke manapun melangkah kalian pijak airmata kami ke manapun terbang kalian kan hinggap di air mata kami ke manapun berlayar kalian arungi airmata kami kalian sudah terkepung takkan bisa mengelak takkan bisa ke mana pergi menyerahlah pada kedalaman air mata kami
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata yang berarti mengembalikan kata-kata pada awal-mulanya. Pada mulanya-adalah kata. Dan Kata pertama adalah Mantra. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantra". Begitu bunyi petikan paragraf terakhir Kredo Sutardji Calzoum Bachri (SCB), dalam O, Amuk, Kapak (1981).Tanah airmata tanah tumpah dukaku mata air airmata kami airmata tanah air kami di sinilah kami berdiri menyanyikan airmata kami di balik gembur subur tanahmu kami simpan perih kami di balik etalase megah gedung-gedungmu kami coba sembunyikan derita kami kami coba simpan nestapa kami coba kuburkan duka lara tapi perih tak bisa sembunyi ia merebak kemana-mana bumi memang tak sebatas pandang dan udara luas menunggu namun kalian takkan bisa menyingkir ke manapun melangkah kalian pijak airmata kami ke manapun terbang kalian kan hinggap di air mata kami ke manapun berlayar kalian arungi airmata kami kalian sudah terkepung takkan bisa mengelak takkan bisa ke mana pergi menyerahlah pada kedalaman air mata Analisis Puisi karya Sutardji Calzoum Bachri mengandung unsur estetis/keindahan dari kata "AIR MATA". Kata ini menggambarkan keadaan bangsa indonesia yang sering meneteskan air mata. Puisi ini diciptakan untuk menguak kenyataan yang terjadi pada masyarakat kecil yang tak berdaya. kehidupan masyarakat kecil yang tertindas oleh pengusa-penguasa. Menurut saya Sutardji Calzoum Bachri menggunakan majas dalam penulisan puisi ini menggambarkan kehidupan rakyat kecil yang hidup di daerah penguasa yang tertindas karena para penguasa yang memakan uang rakyat, hingga hidup masyarakat kecil yang dibawah.uisi"Cermin" karya Sutardji Calzoum Bachri merupakan puisi berdimensi sufistik. Puisi sufistik yang mengungkap dan menggambarkan tentang perenungan diri terhadap eksistensi diri dengan Tuhannya.Kumpulan Puisi Sutardji Calzoum Bachri - Sutardji Calzoum Bachri adalah pujangga Indonesia terkemuka, ia dikelompokkan sebagai Sastrawan Angkatan 1966 1970-an. Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, pada 24 Juni 1941. Ia adalah anak kelima dari sepuluh orang bersaudara. Pada tahun 1982, ia menikah dengan seorang gadis pilihannya bernama Maryam Linda. Sutardji memulai pendidikan dasarnya di SD, SMP, SMA, dan kemudian melanjutkan ke Fakultas Sosial Politik Sospol, Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran Bandung, namun tidak selesai. Selain menempuh jalur pendidikan formal, Sutardji juga telah mengikuti berbagai program pendidikan non-formal seperti peserta Poetry Reading International di Rotterdam tahun 1974 dan mengikuti International Writing Program di IOWA City Amerika Serikat selama satu tahun tahun 1975. Ia juga pernah mengikuti penataran P4 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta tahun 1984, dan lulus sebagai peringkat pertama dalam 10 terbaik. Sutardji mulai menulis di media cetak sejak berumur 25 tahun. Pada tahun 1971, sajaknya berjudul “O” yang merupakan kumpulan puisinya yang pertama, muncul di majalah sastra. Pada tahun berikutnya, di majalah yang sama, karyanya berjudul “Amuk” kembali dimuat. Sutardji Calzoum Bachri pernah bekerja sebagai redaktur di majalah sastra Horison dan majalah mingguan Fokus. Bahkan, sejumlah sajaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation Calcutta, India, Writing from the World Amerika Serikat, Westerly Review Australia dan dalam dua antologi berbahasa Belanda Dichters in Rotterdam Rotterdamse Kunststichting, 1975 dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters tahun 1979. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana. Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra. Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia. Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation Calcutta, India, Writing from the World Amerika Serikat, Westerly Review Australia dan dalam dua antologi berbahasa Belanda Dichters in Rotterdam Rotterdamse Kunststichting, 1975 dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters 1979. Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand. O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern. ANA BUNGA Terjemahan bebas Adaptasi dari puisi Kurt Schwittters, Anne Blumme Oh kau Sayangku duapuluh tujuh indera Kucinta kau Aku ke kau ke kau aku Akulah kauku kaulah ku ke kau Kita ? Biarlah antara kita saja Siapa kau, perempuan tak terbilang Kau Kau ? – orang bilang kau – biarkan orang bilang Orang tak tahu menara gereja menjulang Kaki, kau pakaikan topi, engkau jalan dengan kedua tanganmu Amboi! Rok birumu putih gratis melipat-lipat Ana merah bunga aku cinta kau, dalam merahmu aku cinta kau Merahcintaku Ana Bunga, merahcintaku pada kau Kau yang pada kau yang milikkau aku yang padaku kau yang padaku Kita? Dalam dingin api mari kita bicara Ana Bunga, Ana Merah Bunga, mereka bilang apa? Sayembara Ana Bunga buahku Merah Ana Bunga Warna apa aku? Biru warna rambut kuningmu Merah warna dalam buah hijaumu Engkau gadis sederhana dalam pakaian sehari-hari Kau hewan hijau manis, aku cinta kau Kau padakau yang milikkau yang kau aku yang milikkau kau yang ku Kita ? Biarkan antara kita saja pada api perdiangan Ana Bunga, Ana, A-n-a, akun teteskan namamu Namamu menetes bagai lembut lilin Apa kau tahu Ana Bunga, apa sudah kau tahu? Orang dapat membaca kau dari belakang Dan kau yang paling agung dari segala Kau yang dari belakang, yang dari depan A-N-A Tetes lilin mengusapusap punggungku Ana Bunga Oh hewan meleleh Aku cinta yang padakau! 1999 Catatan Terjemahan Anna Blume dikerjakan untuk panitia peringatan Kurt Schwitters, Niedersachen, Jerman. AYO Adakah yang lebih tobat dibanding air mata adakah yang lebih mengucap dibanding airmata adakah yang lebih nyata adakah yang lebih hakekat dibanding airmata adakah yang lebih lembut adakah yang lebih dahsyat dibanding airmata para pemuda yang melimpah di jalan jalan itulah airmata samudera puluhan tahun derita yang dierami ayahbunda mereka dan diemban ratusan juta mulut luka yang terpaksa mengatup diam kini airmata lantang menderam meski muka kalian takkan dapat selamat di hadapan arwah sejarah ayo masih ada sedikit saat untuk membasuh pada dalam dan luas airmata ini ayo jangan bandel jangan nekat pada hakekat jangan kalian simbahkan gas airmata pada lautan airmata malah tambah merebak jangan letupkan peluru logam akan menangis dan tenggelam dikedalaman airmata jangan gunakan pentungan mana ada hikmah mampat karena pentungan para muda yang raib nyawa karena tembakan yang pecah kepala sebab pentungan memang tak lagi mungkin jadi sarjana atau apa saia namun mereka telah nyempurnakan bakat gemilang sebagai airmata yang kini dan kelak selalu dibilang bagi perjalanan bangsa BAYANGKAN untuk Salim Said direguknya wiski direguk direguknya bayangkan kalau tak ada wiski di bumi sungai tak mengalir dalam aortaku katanya di luar wiski di halaman anak-anak bermain bayangkan kalau tak ada anak-anak di bumi aku kan lupa bagaimana menangis katanya direguk direguk direguknya wiski sambil mereguk tangis lalu diambilnya pistol dari laci bayangkan kalau aku tak mati mati katanya dan ditembaknya kepala sendiri bayangkan 1977 JEMBATAN Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna. Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang jalanan yangberdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota. Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan. Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase indah di berbagai palaza. Wajah yang diam-diam menjerit mengucap tanah air kita satu bangsa kita satu bahasa kita satu bendera kita satu ! Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang di antara kita ? Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak ammpu mengucapkan kibarnnya. Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami. Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air KUCING ngiau! Kucing dalam darah dia menderas lewat dia mengalir ngilu ngiau dia ber gegas lewat dalam aortaku dalam rimba darahku dia besar dia bukan harimau bu kan singa bukan hiena bukan leopar dia macam kucing bukan kucing tapi kucing ngiau dia lapar dia merambah rimba af rikaku dengan cakarnya dengan amuknya dia meraung dia mengerang jangan beri daging dia tak mau daging Jesus jangan beri roti dia tak mau roti ngiau ku cing meronta dalam darahku meraung merambah barah darahku dia lapar 0 a langkah lapar ngiau berapa juta hari dia tak makan berapa ribu waktu dia tak kenyang berapa juta lapar lapar ku cingku berapa abad dia mencari menca kar menunggu tuhan mencipta kucingku tanpa mauku dan sekarang dia meraung mencariMu dia lapar jangan beri da ging jangan beri nasi tuhan mencipta nya tanpa setahuku dan kini dia minta tuhan sejemput saja untuk tenang seha ri untuk kenyang sewaktu untuk tenang LA NOCHE DE LAS PALABRAS EL DIARIO DE MEDELLIN Di cafe jalanan Noventa Y Sieta, Medellin, Columbia kami mengepung bulan dan mereka yang mendengarkan puisi kami mencoba menaklukkan bulan dengan cara mereka berkomplot dengan anggur daun cerbeza bersekongkol dengan gadisgadis memancing bulan dengan keluasan dada Musim panas Menjulang di Medelin menampilkan sutera di keharibaan malam cuaca ratusan para lilin menyandar di pundak malam mengucap menyebutnyebut cahaya sambil mencoba memahami takdir di wajah-wajah usia kami para penyair meneruskan zikir kami -palabras palabras palabras palabras - –kata kata kata kata – semakin kental mengucap cahaya pun memadat sampai kami bisa buat sesuka kami atas padat cahaya lantas bulan kesurupan kesadaran kami meninggi bulan turun pada kami dan kami mengatasi bulan sampailah kami pada kerajaan kata-kata jika kami membilang ayah ia juga ayah kata-kata jika kami menyebut hari juga harinya kata-kata jika kami mengucap diri pastilah juga diri kata kata Di cafe jalanan Medellin purnama jatuh kata-kata menjadi kami kami menjadi kata kata LUKA ha ha MANTERA lima percik mawar tujuh sayap merpati sesayat langit perih dicabik puncak gunung sebelas duri sepi dalam dupa rupa tiga menyan luka mengasapi duka puah! kau jadi Kau! Kasihku NGIAU Suatu gang panjang menuju lumpur dan terang tubuhku mengapa panjang. Seekor kucing menjinjit tikus yang menggelepar tengkuknya. Seorang perempuan dan seorang lelaki bergigitan. Yang mana kucing yang mana tikusnya? Ngiau! Ah gang yang panjang. Cobalah tentukan! Aku kenal Afrika aku kenal Eropa aku tahu Benua aku kenal jam aku tagu jentara aku kenal terbang. Tapi bila dua manusia saling gigitan menanamkan gigi-gigi sepi mereka akan ragu menetapkan yang mana suka yang mana luka yang mana hampa yang mana makna yang mana orang yang mana kera yang mana dosa yang mana surga. O dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O… TANAH AIR MATA Tanah airmata tanah tumpah dukaku mata air airmata kami airmata tanah air kami di sinilah kami berdiri menyanyikan airmata kami di balik gembur subur tanahmu kami simpan perih kami di balik etalase megah gedung-gedungmu kami coba sembunyikan derita kami kami coba simpan nestapa kami coba kuburkan duka lara tapi perih tak bisa sembunyi ia merebak kemana-mana bumi memang tak sebatas pandang dan udara luas menunggu namun kalian takkan bisa menyingkir ke manapun melangkah kalian pijak airmata kami ke manapun terbang kalian kan hinggap di air mata kami ke manapun berlayar kalian arungi airmata kami kalian sudah terkepung takkan bisa mengelak takkan bisa ke mana pergi menyerahlah pada kedalaman air mata 1991 TAPI aku bawakan bunga padamu tapi kau bilang masih aku bawakan resahku padamu tapi kau bilang hanya aku bawakan darahku padamu tapi kau bilang cuma aku bawakan mimpiku padamu tapi kau bilang meski aku bawakan dukaku padamu tapi kau bilang tapi aku bawakan mayatku padamu tapi kau bilang hampir aku bawakan arwahku padamu tapi kau bilang kalau tanpa apa aku datang padamu wah ! BATU batu mawar batu langit batu duka batu rindu batu janun batu bisu kaukah itu teka teki yang tak menepati janji ? Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan hati takjatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh? Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampa mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai sedang lambai tak sampai. Kau tahu batu risau batu pukau batu Kau-ku batu sepi batu ngilu batu bisu kaukah itu teka teki yang tak menepati janji ? JEMBATAN Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna. Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang jalanan yangberdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota. Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan. Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase indah di berbagai palaza. Wajah yang diam-diam menjerit mengucap tanah air kita satu bangsa kita satu bahasa kita satu bendera kita satu ! Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang di antara kita ? Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak ammpu mengucapkan kibarnnya. Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami. GAJAH DAN SEMUT tujuh gajah cemas meniti jembut serambut tujuh semut turun gunung terkekeh kekeh perjalanan kalbu 1976-1979 IDUL FITRI Lihat Pedang tobat ini menebas-nebas hati dari masa lampau yang lalai dan sia-sia Telah kulaksanakan puasa ramdhanku, telah kutegakkan shalat malam telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang Telah kuhamparkan sajadah Yang tak hanya nunu Ka'bah tapi ikhlas mencapai hati dan darah Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya Maka aku girang-girangkan hatiku Aku bilang Tardji rindu yang kau wudhukan setiap malam Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang Namun si bandel Tardji ini sekali merindu Takkan pernah melupa Takkan kulupa janjiNya Bagi yang merindu insya-Allah kan ada mustajab Cinta Maka walau tak jumpa denganNya Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini Semakin mendekatkan aku padaNya Dan semakin dekat semakin terasa kesiasiaan pada usia lama yang lalai berlupa O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini ngebut di jalan lurus Jangan kau depakkan lagi aku ke trotoir tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia Kau biarkan aku menenggak marak cahayaMu di ujung usia O usia lalai yang berkepanjangan yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus Tuhan jangan Kau depakkan lagi aku di trotoir tempat dulu aku menenggak arak di warung dunia Maka pagi ini Kukenakan zirah la ilaha illallah aku pakai sepatu siratal mustaqiem akupun lurus menuju lapangan tempat shlat ied Aku bawa masjid dalam diriku Kuhamparkan di lapangan Kutegakkan shalat dan kurayakan kelahiran kembali di sana PARA PEMINUM di lereng lereng para peminum mendaki gunung mabuk kadang mereka terpeleset jatuh dan mendaki lagi memetik bulan di puncak mereka oleng tapi mereka bilang -kami takkan karam dalam lautan bulan- mereka nyanyi nyai jatuh dan mendaki lagi di puncak gunung mabuk mereke berhasil memetik bulan mereka mneyimpan bulan dan bulan menyimpan mereka di puncak semuanya diam dan tersimpan WALAU walau penyair besar takkan sebatas allah dulu pernah kuminta tuhan dalam diri sekarang tak kalau mati mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat jiwa membumbung dalam baris sajak tujuh puncak membilang bilang nyeri hari mengucap ucap di butir pasir kutulis rindu rindu walau huruf habislah sudah alifbataku belum sebatas allah 1979 SEPISAUPI sepisau luka sepisau duri sepikul dosa sepukau sepi sepisau duka serisau diri sepisau sepi sepisau nyanyi sepisaupa sepisaupi sepisapanya sepikau sepi sepisaupa sepisaupoi sepikul diri keranjang duri sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sampai pisauNya ke dalam nyanyi 1973 TRAGEDI WINKA & SIHKA Oleh Sutardji Calzoum Bachri kawin kawin kawin kawin kawin ka win ka win ka win ka win ka winka winka winka sihka sihka sihka sih ka sih ka sih ka sih ka sih ka sih sih sih sih sih sih ka Ku Dari berbagai sumber.
dikedalaman puisi akan kau temukan sunyi, sebenar-benar sunyi, sebenar-benar puisi (3) aku rasakan benar doa yang tak terucapkan, tapi bergetar di dalam jantungmu (4) karena kesedihan adalah kebahagiaan dengan nama berbeda, maka hadir cinta bersama airmata (5)
Walau Walau penyair besar takkan sampai sebatas allah dulu pernah kuminta tuhan dalam diri sekarang tak kalau mati mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat jiwa membumbung dalam baris sajak tujuh puncak membilang-bilang nyeri hari mengucap-ucap di butir pasir kutulis rindu rindu walau huruf habislah sudah alif bataku belum sebatas allah Jembatan Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna. Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota. Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan. Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit mengucap tanah air kita satu bangsa kita satu bahasa kita satu bendera kita satu! Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan-jalan mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang di antara kita? Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot linu mengerang mereka pancangkan koyak-moyak bendera hati dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak ammpu mengucapkan kibarnya. Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami. Kucing Ngiau! Kucing dalam darah dia menderas lewat dia mengalir ngilu ngiau dia bergegas lewat dalam aortaku dalam rimba darahku dia besar dia bukan harimau bukan singa bukan hiena bukan leopar dia macam kucing bukan kucing tapi kucing ngiau dia lapar dia merambah rimba afrikaku dengan cakarnya dengan amuknya dia meraung dia mengerang jangan beri daging dia tak mau daging Jesus jangan beri roti dia tak mau roti ngiau kucing meronta dalam darahku meraung merambah barah darahku dia lapar 0 alangkah lapar ngiau berapa juta hari dia tak makan berapa ribu waktu dia tak kenyang berapa juta lapar lapar kucingku berapa abad dia mencari mencakar menunggu tuhan mencipta kucingku tanpa mauku dan sekarang dia meraung mencariMu dia lapar jangan beri daging jangan beri nasi tuhan menciptanya tanpa setahuku dan kini dia minta tuhan sejemput saja untuk tenang sehari untuk kenyang sewaktu untuk tenang.. Memahami Puisi, 1995 Daging daging coba bilang bagaimana arwah masuk badan bagaimana tuhan dalam denyutmu jangan diam nanti aku marah kalau kulahap kau aku enak sekejap aku sedih kau jadi taik daging kau kawan di bumi di tanah di resah di babi babi daging ging ging kugali gali kau buat kubur dari hari ke hari La Noche De Las Palabras El Diario de Modellin Di cafe jalanan Noventa Y Sieta, Medellin, Columbia kami mengepung bulan dan mereka yang mendengarkan puisi kami mencoba menaklukkan bulan dengan cara mereka berkomplot dengan anggur daun cerbeza bersekongkol dengan gadisgadis memancing bulan dengan keluasan dada Musim panas Menjulang di Medelin menampilkan sutera di keharibaan malam cuaca ratusan para lilin menyandar di pundak malam mengucap menyebutnyebut cahaya sambil mencoba memahami takdir di wajah-wajah usia kami para penyair meneruskan zikir kami -palabras palabras palabras palabras – –kata kata kata kata – semakin kental mengucap cahaya pun memadat sampai kami bisa buat sesuka kami atas padat cahaya lantas bulan kesurupan kesadaran kami meninggi bulan turun pada kami dan kami mengatasi bulan sampailah kami pada kerajaan kata-kata jika kami membilang ayah ia juga ayah kata-kata jika kami menyebut hari juga harinya kata-kata jika kami mengucap diri pastilah juga diri kata kata Di cafe jalanan Medellin purnama jatuh kata-kata menjadi kami kami menjadi kata kata Tapi aku bawakan bunga padamu tapi kau bilang masih aku bawakan resahku padamu tapi kau bilang hanya aku bawakan darahku padamu tapi kau bilang cuma aku bawakan mimpiku padamu tapi kau bilang meski aku bawakan dukaku padamu tapi kau bilang tapi aku bawakan mayatku padamu tapi kau bilang hampir aku bawakan arwahku padamu tapi kau bilang kalau tanpa apa aku datang padamu wah ! ————— Sutardji Calzoum Bachri adalah pujangga Indonesia terkemuka, ia dikelompokkan sebagai Sastrawan Angkatan 1966 – 1970-an. Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, pada 24 Juni 1941. Ia adalah anak kelima dari sepuluh orang bersaudara. Pada tahun 1982, ia menikah dengan seorang gadis pilihannya bernama Maryam Linda. Sutardji Calzoum Bachri memulai pendidikan dasarnya di SD, SMP, SMA dan kemudian melanjutkan ke Fakultas Sosial Politik Sospol, Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran Bandung, namun tidak selesai. Selain menempuh jalur pendidikan formal, Sutardji juga telah mengikuti berbagai program pendidikan non-formal seperti peserta Poetry Reading International di Rotterdam tahun 1974 dan mengikuti International Writing Program di IOWA City Amerika Serikat selama satu tahun tahun 1975. Ia juga pernah mengikuti penataran P4 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta tahun 1984, dan lulus sebagai peringkat pertama dalam 10 terbaik. Baca Puisi-puisi Karya Rudi Santoso *** Laman Puisi terbit setiap hari Minggu. Secara bergantian menaikkan puisi terjemahan, puisi kontemporer nusantara, puisi klasik, dan kembali ke puisi kontemporer dunia Melayu. Silakan mengirim puisi pribadi, serta puisi terjemahan dan klasik dengan menuliskan sumbernya ke email [email protected] [redaksi]sajaksajak: Sutardji Calzoum Bachri Date: Wed, 17 Nov 1999 01:27:04 -0800 Mailing List MSI Penyair Pengirim Nanang Suryadi TANAH AIR MATA Oleh : Sutardji Calzoum Bachri Tanah airmata tanah tumpah dukaku mata air airmata kami airmata tanah air kami di sinilah kami berdiri menyanyikan airmata kami di balik gembur subur tanahmu kami simpan perih kami
Tapisebuah buku mengenai dirinya yang ditulis oleh penyair Taufik Ikram Jamil diluncurkan. Buku berjudul Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri: Biografi Kesaksian itu membahas riwayat hidup Sutardji semenjak kecil, juga bagaimana lingkungan tradisi Melayu membentuk pandangannya terhadap kata-kata, makna, dan sajak. Sutardji me.
vKtzGs.